Bisnis.com, JAKARTA – Gerakan Black Lives Matter telah berhasil memengaruhi kebijakan Uni Eropa untuk menyusun rancangan kebijakan anti-rasisme pertama mereka.
Para penduduk telah menghadapi “realita rasisme yang telah mendarah daging” yang sudah tidak bisa diabaikan, demikian disampaikan European Commision pada rancangan mereka seperti dikutip dari Bloomberg.com.
Para pihak berwenang berjanji untuk menuntun negara yang tidak menerapkan hukum ketat yang telah di setujui oleh blok mengenai rasisme dan xenophobia dan pihak berwenang akan meninjau ulang langkah-langkah yang ada untuk memastikan hal tersebut sudah cukup kuat.
“Perkembangan dalam perlawanan terhadap kebencian dan rasisme di Eropa sangatlah kurang, tapi kita berharap suatu hari nanti seiring dengan berjalannya waktu dan usaha yang lebih kita bisa merubah kondisi di Eropa,” ujar Vera Jouriva wakil komisi dari badan nilai-nilai dan transparansi seperti dikutip dari Bloomberg.com.
“Hal ini merupakan tujuan dari rancangan kebijakan yang baru dan kita tidak akan ragu-ragu dalam bertindak, termasuk menguatkan badan legislasi kita dan menegakan secara kuat kebijakan tersebut," tambahnya.
Gerakan di Eropa ini muncul setelah Negara Amerika Serikat diguncang kasus rasisme, yang mendorong aksi protes di beberapa kota. Korban dari aksi yang dilakukan polisi ini termasuk, George Floyd, seorang warga negara kulit hitam yang tidak bersenjata yang dibunuh oleh aparat polisi setempat di Minneapolis. Aparat polisi tersebut telah didakwa dengan pembunuhan.
“Saat ini kita tidak boleh pesimis dan harus benar-benar menerima ini sebagai salah satu momen penting dimana kita dapat membuat badan eksekutif mengakui bahwa rasisme merupakan salah satu masalah yang terjadi di Eropa,” ujar Judith Sunderland wakil pejabat direksi dari Human Rights Watch di Eropa.
Salah satu prioritas dari Uni Eropa menurut rancangan kebijakan itu adalah untuk mengumpulkan data yang dapat dipercaya sehingga dapat menilai skala dan kasus diskriminasi di seluruh Uni eropa. Dibandingkan data dari kasus diskriminasi lainnya, seperti sex, penyandang disabilitas, dan umur, data mengenai diskriminasi berdasarkan etnis dan asal ras sangatlah langka. Hal ini sebagian disebabkan oleh banyak negara setelah perang dunia ke 2 menentang untuk menyimpan catatan mengenai hal tersebut.
Dia melanjurkan terdapat beberapa hambatan yang termasuk membangun methodologi yang umum, dimana beberapa negara anggota menyetujui metode pengumpulan data serta mengumpulkan data tersebut sedangkan beberapa negara lainnya secara sadar menolak pendekatan ini.
”Hasilnya adalah banyak survey yang memfokuskan pada persepsi diskriminasi atau menggunakan perantara seperti kewarganegaraan ataupun negara yang dijadikan tempat lahir”
Komisi menginginkan “pendekatan baru pada kesamaan pengkoleksian data” dan akan mengorganisasi rapat untuk menemukan cara menuju pengumpulan data yang lebih harmonis.
“Rancangan undang-undang secara umum, walaupun mereka tidak pernah secara benar dan sepenuhnya diimplementasikan, sudah mengirimkan pesan bahwa isu ini telah menjadi perhatian” dan telah menyusun langkah serta menjadi tolak ukur tertentu, menurut Sunderland.