Bisnis.com, JAKARTA - Guru Besar Biologi Molekuler dari Universitas Airlangga Chairul Anwar Nidom menyebut virus Corona (Covid-19) cerdik. Mengapa demikian?
Melalui literasi yang dia buat bersama tim laboratorium Professor Nidom Foundation (PNF), Nidom menerangkan komponen biologi yang dimiliki virus itu.
Virus corona adalah jenis virus RNA yang terkenal dengan mutasinya. Menurut Nidom, mutasi suatu virus biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan virus itu dalam membaca kesalahan saat bereplikasi atau yang dikenal dengan proof reading. Sehingga adanya mutasi selalu dikaji keterkaitannya dengan fungsi biologis atau sekadar 'kontaminasi'.
"Sebaliknya, virus Corona mampu membaca kesalahan tersebut," kata Nidom dalam keterangan tertulis, Selasa (15/9/2020).
Literasi yang dibuat Nidom dan timnya merupakan pengantar dan pelengkap dari publikasi internasional berjudul 'Investigation of the D614G Mutation and Antibody-Dependent Enhancement Sequences in Indonesia SARS-CoV-2 Isolates and Comparasion to South Asian Isolates'. Studi tersebut sudah dipublikasikan di Systematic Reviews in Pharmacy.
Nidom yang juga Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin di PNF menerangkan, itu sebabnya penggunaan obat atau antiviral sering tidak efektif pada virus ini.
Baca Juga
Alasannya, terlalu banyak komponen biologi dari sel inang (host) yang digunakan oleh virus Corona yang sejauh ini diberi label SARS-COV-2 tersebut.
"Sehingga sasaran spesifik obat terhadap virus menjadi kurang, membuat obat yang diberikan punya resiko terhadap inang (side effects)," ujarnya.
Secara spesifik, virus Corona disebutkannya mempunyai struktur non-structural protein-14 (nsp-14) yang akan membetulkan mutasi, sehingga mutasi bukan yang utama dari virus ini dalam mempertahankan hidupnya. Selain itu, enzim nsp-14 juga bisa menyebabkan obat antivirus seperti remdesivir atau ribavirin menjadi kurang efektif.
"Virus ini bisa mengenali dan membuang antiviral analog terhadap struktur virus berupa adenin, guanin, sitosin dan urasil melalui kerja enzim nsp-14 ini," jelasnya.
Kecerdikan itu terkait dengan identifikasi mutasi D614G (aspartat/D diganti glisin/G, pada nomer 614), yang diduga menyebabkan virus ini menular lebih cepat di dunia. Di Indonesia, Nidom mengatakan, mutasi telah ditemukan pada 57,5 persen kasus infeksi.
Namun, Nidom menyatakan, masih dibutuhkan kajian yang mendalam untuk memastikan apakah mutasi itu menyebabkan virus lebih menular.
"Perlu antisipasi secara saksama dengan kebijakan yang tepat. Beberapa negara Asean juga memiliki isolat dengan struktur D614G tersebut," ungkapnya.
Yang jelas, Nidom menambahkan, kajian atau studi karakter Covid-19 dalam mendampingi kebijakan pengendalian pandemi-19 ini perlu dipertimbangkan.
"Mengingat karakter dan cara meliuk virus Covid-19 yang cerdik ini," ujarnya.