Bisnis.com, JAKARTA - Sepeninggal Perdana Menteri Shinzo Abe, ekonomi Jepang ternyata semakin terpuruk.
Jepang mencatat kontraksi -7,9 persen secara kuartalan (QtQ) pada kuartal II/2020. Angka ini adalah revisi dari pembacaan sebelumnya pekan lalu, yang mengklaim kontraksi kuartalan sebesar -7,8 persen.
Rekor kontraksi ekonomi Jepang pada kuartal terakhir sedikit lebih buruk dari perkiraan semula. Angka pertumbuhan yang direvisi ini menggarisbawahi tantangan yang dihadapi setelah penggantian Perdana Menteri Shinzo Abe ketika negara itu mencoba untuk keluar dari keterpurukan akibat virus Corona.
Produk domestik bruto (PDB) menyusut 28,1 persen secara tahunan dari kuartal sebelumnya. Menurut kantor kabinet Jepang, angka ini sedikit lebih buruk dari perhitungan awal yang mencapai minus 27,8 persen. Penurunan yang lebih tajam dalam investasi di sektor bisnis menyebabkan sebagian besar perubahan dalam laporan PDB kuartal kedua tersebut.
Ekonom telah memperkirakan kontraksi 28,5 persen secara keseluruhan tahun.
Sebuah laporan terpisah menunjukkan penurunan dalam pengeluaran rumah tangga yang tajam pada bulan Juli, yang turun 7,6 persen di bawah level tahun lalu karena konsumen mengurangi perjalanan dan makan di luar di tengah lonjakan kasus virus yang sejak itu agak berkurang.
Baca Juga
Kontraksi ini merupakan yang terbesar dalam catatan ekonomi Jepang sejak tahun 1955.
Calon kuat pengganti Abe Yoshihide Suga akan menghadapi kondisi yang sulit dan dia harus mencari penyeimbangan untuk menahan virus tanpa mengganggu perekonomian.
“Kami mengharapkan ada pertumbuhan di kuartal ketiga. Tapi itu masih berada di jalur penurunan yang dalam untuk setahun penuh, bahkan dengan dukungan kebijakan besar-besaran dari pemerintah dan bank sentral," kata ekonom Bloomberg Yuki Masujima.