Bisnis.com, JAKARTA - Kantor Staf Presiden membantah menyediakan anggaran Rp90,45 miliar untuk membayar influencer.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian menyatakan anggaran Rp90,45 miliar tidak seluruhnya untuk membayar influencer seperti pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Dana tersebut, ujar Donny, dialokasikan untuk seluruh kegiatan kehumasan.
"Jadi, Rp90,45 miliar itu kan anggaran kehumasan. Kehumasan itu banyak alokasinya, misalnya untuk iklan layanan masyarakan, untuk memasang iklan di media cetak, audio visual, sosialisasi, bikin buku, atau lainnya, jadi tidak semua untuk influencer," kata Donny di Jakarta, Jumat (21/8/2020).
Pada Kamis (20/8), peneliti ICW Egi Primayogha dalam konferensi pers "Rezim Humas: Berapa Miliar Anggaran Influencer?" secara daring menyatakan pemerintah pusat menganggarkan Rp90,45 miliar untuk beragam aktivitas yang melibatkan influencer.
Temuan itu, ujar Egi, didasarkan pada hasil penelusuran dari laman pengadaan barang jasa pemerintah Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) sepanjang 14 sampai dengan 18 Agustus 2020.
Baca Juga
"Tidak mungkin Rp90 miliar diberikan kepada influencer, influencer itu berapa? Jadi, influencer memang yang dipilih juga orang-orang kompeten, punya kemampuan, menguasai substansi. Jadi, kalau menyosialisasikan kebijakan yang benar apa salahnya? Kecuali mereka memutarbalikkan fakta, membuat baik apa yang tidak baik, hanya me-make up saja sesuatu yang buruk, toh, mereka berbicara apa adanya," ungkap Donny.
Menurut Donny, Presiden Jokowi yang sebelumnya pernah mengundang sejumlah influencer ke Istana hanya bertujuan untuk menyapa.
"Saya kira Pak Jokowi cuma ingin menyapa saja semua stakeholder, termasuk influencer, karena mereka yang punya massa, punya pengikut, punya pendengar. Apa yang mereka sampaikan pasti didengar oleh banyak orang sehingga dipanggil supaya bisa terhindar dari hoaks, fitnah, pembunuhan karakter, untuk menggunakan sosial media secara positif," tambah Donny.
Donny pun membantah pernyataan ICW yang menilai Presiden Joko Widodo tidak percaya diri terhadap program-programnya karena menggunakan jasa influencer.
"Karena namanya program harus dipahami sampai ke pelosok, sampai ke desa-desa yang tidak terjangkau media. Nah, influencer, itu kan kita tahu menggunakan sosmed yang digunakan masyarakat, jadi saya kira bukan tidak percaya diri, melainkan jangkauannya lebih luas, terutama di kalangan milenial," kata Donny.
Menurut Egi Primayogha anggaran belanja pemerintah untuk aktivitas yang melibatkan influencer mulai muncul pada tahun 2017.
Adapun perinciannya pada tahun 2017 ada 5 paket pengadaan senilai Rp17,68 miliar, pada 2018 terdapat 15 paket senilai Rp56,55 miliar, pada 2019 terdapat 13 paket senilai Rp6,67 miliar, dan pada 2020 ada 7 paket senilai Rp9,53 miliar.
Dari anggaran tersebut, kementerian yang paling banyak menggunakan influencer adalah Kementerian Pariwisata dengan 22 paket pengadaan senilai Rp77,66 miliar, disusul Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan 4 paket pengadaan senilai Rp10,83 miliar, selanjutnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan 12 paket pengadaan senilai Rp1,6 miliar, Kementerian Perhubungan (1 paket) senilai Rp195,8 juta, dan Kementerian Pemuda dan Olahraga (1 paket) senilai Rp150 juta.
Egi mencontohkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan sosialisasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 dengan jasa influencer artis Gritte Agatha dan Ayushita Widyartoeti Nugraha dengan nilai anggaran Rp114,4 juta.
Selain itu, untuk mata anggaran yang sama, Kemendikbud menggelontorkan anggaran Rp114,4 juta untuk influencer Ahmad Jalaluddin Rumi dan Ali Syakieb.
Contoh lain adalah Kementerian Pariwisata mengelontorkan dana Rp5 miliar untuk publikasi melalui international online influencer trip paket IV.
Berdasarkan temuan tersebut, ICW menilai pemerintah Presiden Jokowi tidak percaya diri dengan program-programnya hingga harus menggelontorkan anggaran untuk influencer.