Bisnis.com, JAKARTA -Temuan tiga kombinasi obat oleh Universitas Airlangga diklaim mampu membunuh Virus Corona dengan efektivitas 98 persen. Temuan obat itu didukung oleh BIN, dan TNI AD. Namun, kabar gembira itu malah menuai polemik. Bahkan, epidemiolog dari Universitas Indonesia mengancam akan menggugat Unair, bila BPOM memberi izin produksi massal.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito meminta pihak Universitas Airlangga (Unair) dapat menjelaskan kaji etik dan uji klinis terkait pernyataan penemuan obat Covid-19.
"Tentunya Universitas Airlangga dibantu dengan BIN (Badan Intelijen Negara) dan TNI AD pasti tidak keberatan untuk menjelaskan bagaimana kaji etik berlangsung dan uji klinis yang sedang dijalankan," kata Wiku dalam konferensi pers di Kantor Presiden Jakarta, Selasa (19/8/2020).
Sebelumnya, tim gabungan antara Universitas Airlangga, Badan Intelijen Negara (BIN), dan TNI AD mengklaim sudah menemukan obat Covid-19 pertama di dunia.
Rektor Universitas Airlangga Mohammad Nasih menjelaskan bahwa obat tersebut merupakan kombinasi dari berbagai macam obat, yakni Lopinavir/Ritonavir-Azithromycin; Lopinavir/Ritonavir-Doxycycline; serta Hydrochloroquine-Azithromycin.
Kombinasi-kombinasi dari obat yang sudah beredar di pasaran itu diklaim telah teruji memberi hasil efikasi menyembuhkan pasien Covid-19 nonpengguna ventilator hingga 98 persen.
"Tentu uji klinis harus dijalankan dengan protokol yang benar sesuai standar internasional agar obatnya aman dan efektif untuk menyembuhkan," kata Wiku.
Dia mengatakan upaya untuk menemukan obat yang tepat telah dilakukan berbagai pihak di dunia termasuk di Indonesia, dan tidak hanya obat tunggal, tapi juga berbentuk regimen (kombinasi).
"Unair dalam menjalankan testing atau uji klinis dari obat yang dikembangkan berupa regimen tersebut sudah melalui kaji etik di universitasnya dan transparansi publik sangat diperlukan," ungkap Wiku.
Sampai saat ini, menurut Wiku, belum ada izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk obat yang dikembangkan Unair tersebut.
"Karena masih dalam proses uji klinis dan setelah disampaikan Unair kepada pemerintah dalam hal ini BPOM bisa jadi bahan review dan bisa untuk uji edar dan prinsipnya adalah aman dan efektif. WHO sampai sekarang belum menentukan obat standar paling efektif untuk menyembuhkan Covid-19," ujar Wiku.
Penjelasan Unair
Dalam melaksanakan uji klinis obat kombinasi tersebut, tim Unair mengatakan tidak hanya melakukan pada satu pihak dan satu tempat saja melainkan melakukan uji klinis pada 13 titik di Indonesia dan masing-masing titik dikoordinasikan oleh salah seorang dokter profesional.
Rektor Unair Moh Nasih pun berharap kepada pihak BPOM untuk memperlancar izin produksinya sehingga obat tersebut dapat diproduksi secara massal untuk kepentingan masyarakat Indonesia. Namun, ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono diberitakan mengancam menggugat apabila BPOM memberi izin untuk produksi massal tersebut seperti diberitakan Antara.
Pandu mempermasalahkan prosedur penelitian obat tersebut yang disebutnya mengambil jalan pintas. Gugatan akan diajukannya kepada akademisi Universitas Airlangga sebagai lembaga yang disebutnya bertanggung jawab terhadap integritas ilmu pengetahuan.
“Karena belum teruji dalam riset uji klinis yang memenuhi persyaratan yang baku,” kata Pandu, Senin (17/8/2020).
Pandu menjelaskan, ada persyaratan uji klinis obat yang sesuai standar yang ditetapkan secara internasional, dan harus diregistrasi uji klinis WHO. Namun, ia mengecek obat kombinasi Covid-19 buatan Unair dan BIN ini belum diregistrasi uji klinis WHO.
Jika belum memenuhi syarat tersebut, Pandu mengatakan BPOM bisa menolak pengajuan izin edar dan produksi obat kombinasi Covid-19.
“Masih perlu di-review apakah semua prosedur sudah dijalankan, dan review tingkat validitasnya,” kata dia.
Pandu menilai seharusnya laporan riset obat kombinasi itu dilaporkan Unair ke BPOM. Bukan ke TNI atau BIN sebagai sponsornya. Hal ini, menurut Pandu, tidak sesuai dengan prosedur.
“Yang terjadi TNI dan BIN yang mendaftarkan ke BPOM. Aneh, kan?”
Pengajar di UI ini berpendapat, sejak awal riset terkesan ingin mencari jalan pintas, mengabaikan prosedur ilmiah dan didiskusikan masyarakat ilmiah atas nama kedaruratan.
“Padahal WHO mensponsori solidarity multicountry clinical trials mengikuti semua prosedur,” ujar Pandu.
Nasih mengatakan uji klinis obat kombinasi sudah dilaksanakan sesuai protokol yang disetujui BPOM.
“Uji klinis sesuai protokol uji klinis yang sudah disetujui oleh BPOM melalui PPUK (Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik),” kata Nasih saat dikonfirmasi.
Uji klinis obat kombinasi dilakukan terhadap 754 subyek. Jumlah ini melebihi target dari BPOM yang hanya 696 subyek. Uji klinis fase 3 ini dilaksanakan pada 7 Juli-4 Agustus 2020 di RSUA, Dustira (Secapa AD), Pusat isolasi Rusunawa Lamongan, dan RS Polri Jakarta.
Reaksi IDI
Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Slamet Budiarto meminta semua pihak menunggu keputusan BPOM terkait izin edar dan produksi kombinasi obat Covid-19 yang dikembangkan Unair.
“Wasitnya adalah Badan POM,” kata Slamet, Senin (17/8/2020).
IDI pada dasarnya mendukung semua penelitian terkait obat Covid-19, termasuk kombinasi obat yang dikembangkan Unair.
Slamet meminta agar semua pihak tidak apriori terhadap hasil penelitian tersebut.
“Kita tunggu putusan Badan POM. Tapi jangan apriori kalau ada dokter yang menemukan kombinasi obat ini kok efeknya bagus,” ujarnya.
Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang juga Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa menyampaikan sambutannya sebelum menerima hasil uji klinis tahap tiga obat baru untuk penanganan pasien Covid-19 di Jakarta, Sabtu (15/8/2020). Universitas Airlangga bekerja sama dengan TNI Angkatan Darat (AD), Badan Intelijen Negara (BIN) dan Polri menyelesaikan penelitian obat baru untuk pasien Covid-19 yang dirawat tanpa ventilator di rumah sakit, berupa hasil kombinasi dari tiga jenis obat dan saat ini memasuki proses untuk mendapatkan izin produksi. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Penjelasan BPOM
BPOM dan Kementerian Riset dan Teknologi merangkap sebagai Kepala Badan Riset dan Inovasi (Kemenristek/BRIN) menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada obat khusus untuk menyembuhkan Covid-19.
Anggota Komite Nasional Penilai Obat BPOM Anwar Santoso mengatakan bahwa BPOM harus menjamin semua obat yang beredar dan dikonsumsi masyarakat sudah layak dan mendapat izin edar.
Adapun, menghadapi pandemi Covid-19 ini, belum ada obat yang khusus bisa menyembuhkan.
“Untuk obat beberapa uji klinis sedang dilaksanakan, tapi sampai sekarang belum ada yang aman dan manjur untuk mengobati Covid-19,” tegasnya, Selasa (18/8/2020).
Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 Kemenristek/BRIN Ali Ghufron Mukti menambahkan bahwa dalam mengobati para pasien Covid-19, baik Kemenkes dan BPOM sudah memiliki standar, seperti menggunakan ibat-obat antivirus.
“Obat standar juga kita juga ada acuannya, baik dari Kemenkes dan juga dari BPOM, itu intinya menyangkut antivirus, imunomodulator, kemudian antibiotik juga sedang banyak kita uji. Secara umum seperti itu dan sekarang masih banyak yang dalam proses penelitian.
Namun, Ghufron menegaskan sampai sekarang belum ada yang bisa diklaim menjadi satu obat khusus Covid-19.
“Meskipun banyak yang klaim, tapi yang masuk dalam konsorsium belum ada satupun obat spesifik khusus untuk Covid-19,” jelasnya.