Bisnis.com, JAKARTA – Musisi asal Bali, I Gede Ari Astina alias Jerinx SID, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Bali.
Dia menjadi tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali dan ujaran kebencian.
Setelah menjadi tersangka, Jerinx juga ditahan di Rutan Polda Bali sejak kemarin.
"Iya sudah ditetapkan sebagai tersangka, sudah kami periksa hari ini dan dia hadir. Sudah kami tahan juga hari ini di rutan Polda Bali," kata Dirreskrimsus Polda Bali Kombes Pol Yuliar Kus Nugroho saat dihubungi melalui telepon di Denpasar, Rabu (12/8/2020), dikutip dari Antara.
Menurut polisi, adapun dasar penetapan Jerinx sebagai tersangka berdasarkan alat bukti yang cukup, ada keterangan saksi, ahli, dan kesesuaian antara keterangan semuanya, termasuk barang buktinya.
"Bahwa itu terpenuhi unsur delik membuat pencemaran nama baik, penghinaan dan menimbulkan suatu permusuhan kepada IDI, sesuai dengan UU ITE," kata Yuliar.
Baca Juga
Dalam perkara ini, pasal yang disangkakan yaitu Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dan/atau pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP, sesuai dengan Laporan Polisi No. LP/263/VI/2020/Bali/SPKT, tanggal 16 Juni 2020.
Dengan pasal yang disangkakan itu, Jerinx pun terancam hukuman enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Awalnya Saksi
Sebelum ditetapkan sebagau tersangka, Jerinx berstatus saksi, dan diminta keterangan oleh polisi pada 6 Agustus 2020.
Drummer grup musik Superman Is Dead (SID) ini memenuhi panggilan kedua Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Bali, sekitar pukul 10.32 WITA.
Jerinx datang didampingi pengacaranya Wayan Suardana. Saat mendatangi Kantor Ditreskrimsus Polda Bali, Jerink tampak mengenakan kaus hitam bertuliskan "Indonesia Tolak Rapid" tanpa mengenakan masker. Sementara pengacaranya tampil memakai kemeja berwarna biru tua dan berdasi.
Jerinx yang berstatus sebagai saksi menjalani pemeriksaan atas kasus dugaan pencemaran nama baik Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melalui unggahan di akun Instagram pribadinya pada 13 Juni 2020.
"Jauh sebelum saya menulis postingan pada 13 Juni 2020 itu, mungkin beberapa minggu sebelumnya, saya baca berita rakyat menengah ke bawah dipersulit oleh prosedur rapid, sampai ada yang meninggal dan tidak ditangani dengan serius. Itu akumulasi perasaan empati saya dan kasihan kepada rakyat yang dipersulit gara-gara prosedur rapid," kata Jerinx saat memasuki kantor Ditreskrimsus Polda Bali.
Jerinx menjalani pemeriksaan di sebuah ruang wawancara di Kantor Ditreskrimsus Polda Bali. Pemeriksaan berlangsung secara tertutup selama kurang lebih dua jam.
Sebelumnya, Dirkrimsus Polda Bali Kombes Pol Yuliar Kus Nugroho mengatakan bahwa pihaknya telah memeriksa beberapa saksi dari IDI Bali dan ahli bahasa dalam dugaan kasus pencemaran nama baik IDI Bali.
"Jadi, sudah ditindaklanjuti oleh Polda dan diberi surat panggilan, sementara dijadikan saksi dulu. mestinya kemarin dia [Jerinx] hadir, tapi yang bersangkutan tidak hadir sehingga dilayangkan lagi surat panggilan kedua," kata Yuliar.
IDI Kacung WHO
Jerinx menyebut IDI dan rumah sakit adalah 'kacung' WHO di akun resmi Instagram-nya pada 13 Juni 2020.
"Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan RS seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan dites CV19. Sudah banyak buktijika hasil tes sering ngawur kenapa dipaksakan? Kalau hasil tesnya bikin stress dan menyebabkan kematian pada bayi/ibunya, siapa yang tanggung jawab," tulisnya.
Dalam caption-nya , Jerinx bahkan dia berkomitmen untuk terus menyerang IDI sampai ada penjelasan terkait ini.
Pada 17 Juni 2020, dia juga mengunggah sebuah surat edaran oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia. Dalam surat yang ditulis pada 24 April 2020 tersebut, asosiasi meminta rumah sakit agar mengatur pemasaran untuk pemeriksaan cepat atau rapid test.
Dalam caption-nya, Jerinx menyadur sebuah berita yang menceritakan seorang wanita yang ditolak melakukan persalinan di rumah sakit lantaran tidak mampu membayar tes usap atau swab test.
Menurutnya, jika surat ini benar maka seharusnya mekanisme administrasi dengan rapid test sebagai syarat layanan seharusnya sudah tidak ada lagi di rumah sakit. Apalagi dalam sejumlah kasus, validitas hasil rapid test diragukan.
"Akan berimbas kurang baik bagi pasien dan juga medis dan paramedis, apalagi jika biaya dibebankan kepada pasien. Sudah validitas hasilnya diragukan, juga bebrhaya bagi psikis pasien," ungkapnya.