Sudah jamak diketahui bahwa di setiap Hari Raya Iduladha datang selalu disemarakkan dengan ritual penyembelihan hewan kurban. Euforia pesta pora daging sesaat terlihat di mana-mana, dari ujung desa hingga istana
Bagi kalangan miskin, ritual tahunan ini sungguh menyenangkan tapi sekaligus memperihatinkan. Menyenangkan karena perut mereka yang tak pernah atau jarang terisi sekerat daging pada hari itu mereka bisa merasakan nikmatnya sate, gule, dan tongseng kambing.
Namun, sehari setelah itu mereka kembali miskin dan kelaparan. Alih-alih menikmati daging, untuk sekadar membeli sesuap nasi mereka kesulitan.
Saya pun kemudian membayangkan, jika 20% dari kira-kira 200 juta umat Islam Indonesia sekarang berekonomi menengah ke atas (50 juta orang), dan 10% dari jumlah tersebut (5 juta orang) pada Iduladha berkurban, maka jumlah hewan yang dijagal pada tahun ini bisa mencapai sekitar 5 juta ekor. Ini belum termasuk syang berkurban lebih dari satu hewan.
Bila spesifikasinya sekitar 20% (1 juta) berupa sapi, dan selebihnya (4 juta) kambing, sementara harga seekor sapi sekitar Rp20 juta, dan kambing rata-rata Rp3 juta maka biaya yang dibutuhkan Rp32 triliun.
Saya kembali berfantasi, andai saja separuh dari dana kurban itu (sekitar Rp16 triliun) dikurbankan dengan cara lain, misalnya, diperuntukkan sebagai dana sosial untuk membantu para korban terdampak pandemi Covid-19, apakah pahalanya sama dengan kurban hewan?
Dalam perspektif ulama, kurban memiliki makna ritual dengan menyembelih hewan ternak yang telah memenuhi kriteria tertentu dan pada waktu tertentu, yaitu sejak 10—13 Dzulhijjah. Bagi mereka, ibadah kurban harus dengan hewan kurban (seperti kambing, sapi, dan unta), dan tidak boleh diganti yang lain, seperti uang atau beras. Meski demikian, mereka sepakat, hukum berkurban hanyalah sunah, alias tidak wajib.
Pemaknaan dan pemahaman yang cenderung literalis-dogmatis ini, jelas akan membuat teks kurban menjadi out of date dan kurang memberi motivasi kuat bagi setiap Muslim untuk memenuhi panggilan berkurban. Padahal, secara hermeneutis, titah Tuhan tentang kurban (QS.108:1-2) memiliki arti transformatif radikal saat dibaca dengan mengambil referensi setting personal, sosio-kultur, dan berbagai kategori konteks hidup.
Manifestasi Solidaritas
Masyarakat era Nabi Ibrahim bercorak pastoralis, karena itu, kanzun (investasi) dan komoditas paling berharga terletak pada pemeliharaan binatang ternak, dan pemberian makanan berupa daging saat itu merupakan pengorbanan bernilai tinggi.
Demikian pula pada kurun Nabi Muhammad SAW, sehingga kurban berbentuk binatang ternak merupakan manifestasi solidaritas tertinggi.
Berbeda dengan konteks sosio-kultur Ibrahim dan Muhammad, meski bangsa Indonesia memiliki tanah subur, gemah ripah loh jinawi, tetapi eksploitasi terhadap penduduk berekonomi lemah juga tidak kalah suburnya.
Sekat ekonomi begitu dalam antara si kaya dan si miskin, antara pusat dan daerah, sehingga angka kemiskinan membengkak dan pengangguran kian marak. Kondisi ini kian parah menyusul wabah Covid-19 yang melumpuhkan perekonomian.
Fakta ini jelas menuntut penerjemahan ulang (reinterpretasi) atas makna kurban yang berbeda dengan kondisi sosio-kultur di mana Ibrahim dan Muhammad hidup. Dengan kata lain, agar teks kurban tetap up to date, maka ia mesti membuka diri untuk ditransformasikan makna internal dan orisinalnya ke dalam interpretasi yang lebih kondusif dan kontekstual dengan perkembangan zaman.
Dari sinilah, refleksi komitmen sosial yang hendak dibangun lewat kurban, tampaknya, sudah tidak relevan lagi bila tetap diejawantahkan dengan distribusi daging. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa makna luhur ibadah kurban adalah terdistribusikannya nilai-nilai kemanusiaan secara universal.
Ritual kurban, sebenarnya merupakan hasil apresiasi terhadap budaya lokal Arab. Kala itu, kurban diimplementasikan sebagai bentuk simbol persembahan kepada Tuhan.
Kenyataan ini harus menjadi dasar untuk mampu menempatkan ritual kurban secara proporsional sebagai sebuah ritual keagamaan simbolik, walaupun telah diadopsi ke dalam konsepsi hukum Islam. Sebab, Islam hanya memberikan modifikasi makna dan pesan dari pelaksanaan ritual simbolik kurban. Tidak lebih dari itu.
Namun saat ini, tampaknya tradisi kurban dipahami secara ‘berlebihan’ oleh umat Islam. Kita bisa bayangkan, jika 50% dana yang dihabiskan untuk kurban, sekitar Rp16 triliun, misalnya, digunakan untuk dana bantuan sosial bagi warga terdampak pandemi, maka menikmatinya pun tidak hanya sesaat.
Kalau begitu, bukankah kurban nonhewan lebih menyentuh pesan dari tradisi kurban itu sendiri sebagai sebuah simbol kepedulian serta solidaritas sosial tertinggi? Tentu saja, ini tidak berarti tradisi kurban dihapuskan dan diganti dalam bentuk kegiatan sosial. Namun, tetap ditempatkan secara proporsional sebagai sekadar sebuah tradisi simbolik.
Dengan kata lain, tradisi simbolik kurban tetap harus terus dijalankan dan dilestarikan (taabbudy), tetapi penyembelihan hewan kurban sudah saatnya tidak dilakukan secara berlebihan.
Hal ini karena sebagian dana kurban itu sesungguhnya bisa didayagunakan untuk kebutuhan yang bersifat mendesak, sementara bangsa kita kini hidup dalam serba kesulitan dan kekurangan akibat corona. Inilah cara lain menjalankan tradisi berkurban di tengah pandemi. Wallahu Alam.