Bisnis.com, JAKARTA – Duta Besar China untuk Filipina mendesak negara-negara Asia Tenggara untuk waspada terhadap upaya Amerika Serikat menyabot stabilitas kawasan ini melalui intervensi dalam sengketa Laut China Selatan.
Dalam sebuah wawancara berseri dengan The Manila Times pekan lalu, Duta Besar Huang Xilian mengatakan bahwa dengan dalih “menegakkan kebebasan navigasi”, AS telah dengan sembarangan melanggar wilayah laut dan wilayah udara negara-negara lain.
Dilansir South China Morning Post, Huang mendesak negara-negara Asia Tenggara untuk menyelesaikan perselisihan dengan China dan mencegah upaya AS memanfaatkan mereka untuk menyabot stabilitas di kawasan Asia Pasifik.
Komentar Duta Besar Huang disampaikan setelah Washington mempertegas posisinya soal klaim China di wilayah yang diperselisihkan tersebut. Pada Senin (13/7/2020), pemerintahan Presiden Donald Trump mengecam klaim China atas wilayah di Laut China Selatan.
Kemudian belum lama ini, Duta Besar AS untuk Filipina Sung Kim menyatakan dukungan Washington terhadap Manila melalui tulisan panjang berjudul "Masa depan Filipina mengapung di Laut Filipina Barat". Tulisan itu mengisyaratkan kolaborasi yang lebih dalam antara AS dan Filipina di perairan yang diperebutkan.
"Para ilmuwan dan inovator AS ingin sekali bergabung dengan sesama rekan kerja dari Filipina dalam meneliti perairan ini," kata Kim dalam sebuah pernyataan.
Baca Juga
“Melalui Perjanjian Sains dan Teknologi AS-Filipina yang baru-baru ini diratifikasi, bersama-sama kami membangun jalur baru untuk meningkatkan kolaborasi ilmiah di Laut Filipina Barat dan sekitarnya," sambung Kim.
Istilah Laut Filipina Barat digunakan Manila untuk merujuk pada bagian Laut China Selatan yang diklaimnya sebagai bagian dari zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan termasuk wilayah yang diklaim oleh Beijing.
Kehadiran kapal-kapal riset China di dalam ZEE Filipina sejauh 200 mil telah lama menjadi titik pahit di antara kedua negara. Kesepakatan ilmiah 10 tahun Manila dengan AS yang ditandatangani tahun lalu dapat memungkinkan Manila untuk melakukan penelitian bersama di perairan itu.
Meski demikian, penggunaan istilah tersebut jarang dilakukan oleh seorang pejabat departemen luar negeri AS dan cenderung dianggap bersifat provokatif di Beijing.
Dikutip dari South China Morning Post, para pengamat melihat perselisihan ini menjadi bukti bahwa AS dan China semakin mendorong masing-masing pengaruhnya di Asia Tenggara karena hubungan bilateral mereka terus memburuk.
Dua negara berekonomi terbesar di dunia itu telah terlibat dalam perang dagang yang berlarut-larut sejak 2018. Tensi antara keduanya meningkat dalam beberapa bulan terakhir di tengah perselisihan tentang berbagai isu mulai dari Laut China Selatan hingga undang-undangan keamanan nasional Hong Kong.
Selain itu, Presiden AS Donald Trump telah menuduh China menyembunyikan fakta tentang pandemi Covid-19 dan juga menuding Beijing atas spionase ilegal untuk mencuri rahasia industri AS.
Di lain pihak, China telah berulang kali menolak tuduhan AS seputar penanganan Covid-19, pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang, isu Hong Kong, dan perdagangan. China mengecam balik pemerintahan Presiden Trump karena telah merusak kerja sama global dan berupaya memulai 'perang dingin baru'.