Bisnis.com, JAKARTA – Ketegangan antara Amerika Serikat dan China meningkat. Pada Senin (13/7/2020) waktu setempat, pemerintahan Presiden Donald Trump menolak klaim China atas wilayah di Laut China Selatan.
Langkah ini menyelaraskan AS dengan keputusan pengadilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2016 bahwa klaim China atas perairan yang juga diperebutkan oleh Filipina ini melanggar hukum.
“Kami tegaskan, klaim Beijing atas sumber daya lepas pantai di sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan sepenuhnya melanggar hukum, seperti juga kampanye intimidasi untuk mengendalikannya,” ujar Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo, seperti dilansir Bloomberg.
Langkah ini membawa AS masuk dalam sengketa Laut China Selatan yang melibatkan beberapa negara di Asia Tenggara. Padahal, di masa lalu, AS sebatas menyerukan "kebebasan navigasi" di jalur perairan yang diperebutkan ini dan tidak mengambil sikap atas klaim tertentu.
Namun, pemerintah AS bisa jadi merasa gerah melihat kampanye intensif China untuk mendominasi Laut China Selatan yang kaya sumber daya dan negara-negara berskala lebih kecil di wilayah tersebut.
Negara yang dikomandoi Presiden Xi Jinping itu telah membangun pangkalan dan pos-pos lain di atas beting, terumbu, dan batu galian sebagai cara untuk memperdalam klaimnya.
Baca Juga
Sementara itu, seorang juru bicara Kedutaan Besar China di AS menyebut tindakan pemerintahan Trump sepenuhnya tidak dapat dibenarkan.
“Langkah itu membesar-besarkan situasi di wilayah tersebut dan upaya untuk menabur perselisihan antara China dan negara-negara lainnya. AS harus menghentikan upayanya untuk mengganggu serta menyabot perdamaian dan stabilitas regional,” tutur juru bicara kedubes China.
Pemerintah China dikatakan berkomitmen untuk menyelesaikan sengketa teritorial dengan negara-negara Asia Tenggara melalui negosiasi langsung.
“Amerika Serikat bukan negara yang terlibat langsung dalam sengketa ini. Namun, [AS] terus ikut campur. Dengan dalih menjaga stabilitas, [AS] membangkitkan ketegangan dan memicu konfrontasi di wilayah tersebut,” lanjutnya.
Meski dampak langsung dari tindakan AS belum dapat dipastikan, perkembangan ini menambah konflik yang sudah menjerat AS-China mulai dari perdagangan, keamanan siber, hingga upaya Presiden Trump untuk menyalahkan China tentang asal mula pandemi Covid-19.
Pekan lalu, AS menjatuhkan sanksi pada seorang pejabat tinggi China atas pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Xinjiang. China kemudian membalasnya dengan menjatuhkan sanksi pada Senator Marco Rubio dan Ted Cruz.
Dalam sebuah wawancara, pejabat tinggi Departemen Luar Negeri untuk Asia Timur, Asisten Menteri David Stilwell, mengatakan AS berharap pengumumannya pada Senin akan memberi perlindungan kepada negara-negara lain di kawasan itu untuk memperjuangkan klaim mereka sendiri terhadap China.
Dia juga mengatakan bahwa langkah tersebut tidak berarti AS berpihak pada sengketa spesifik atas daratan seperti pulau-pulau yang juga diklaim China dan negara-negara lain.
Membentang dari China di bagian utara ke Indonesia di selatan, Laut China Selatan memiliki luas sekitar 3,6 juta kilometer persegi. Selama beberapa tahun terakhir, China telah terlibat dalam kampanye ekstensif untuk membangun banyak fitur tanah di wilayah ini sebagai cara untuk memperluas klaimnya ke seluruh wilayah.
Pemerintahan Trump telah lama menuding pemerintahan sebelumnya, terutama mantan Presiden Barack Obama, tak banyak bertindak untuk menantang gerakan teritorial China.
Bulan ini, AS mengumumkan mengirim kapal induk USS Ronald Reagan dan USS Nimitz ke Laut China Selatan untuk latihan militer ketika China meningkatkan latihan militernya sendiri di wilayah itu.