Berita menyangkut pandemi Covid-19 di negara kita masih didominasi berita-berita yang sungguh sangat memprihatinkan. Dari kabar pedagang pasar yang positif terinfeksi virus corona yang mengakibatkan ratusan pasar rakyat harus ditutup, hingga kabar paling mengagetkan bahwa Indonesia bisa menjadi episentrum Covid-19 ketiga setelah China dan India.
Beberapa hari terakhir juga beredar kabar buruk bahwa Warga Negara Indonesia termasuk dalam kelompok beberapa warga negara asing yang belum bisa masuk ke negara-negara di Eropa. Ini melengkapi kabar buruk yang beredar bulan sebelumnya yang dilansir majalah Forbes, bahwa Indonesia ada di peringkat 97 dari 100 negara di dunia yang paling aman dari Covid-19.
Apa konsekuensi jika penanganan krisis karena pandemi tidak berhasil dan korban Covid-19 terus berjatuhan?
Kemungkinan besar akan dilakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) lagi atau bahkan bisa jadi malah ‘lockdown’. Jika upaya apapun yang dilakukan yang menyebabkan orang harus tinggal di rumah, akan sangat buruk untuk perekonomian dan bisnis. Karena kenyataannya negara dan rakyat kita sudah tidak mampu memikul beban untuk melakukan PSBB lagi.
Di samping itu ada risiko sangat buruk yang akan muncul jika PSBB dilakukan lagi. Ada risiko munculnya spiral maut atau death spiral dalam penanganan pandemi.
Apa itu spiral maut dalam penanganan krisis akibat pandemi? Ada beberapa pengertian mengenai spiral maut tetapi kita tampilkan 2 di sini:
1. A period of continuous deterioration that leads ultimately to catastrophic failure or destruction.
2. A situation that is quickly getting worse, often one that ends in disaster.
Jadi munculnya spiral maut dalam penanganan pandemi pada dasarnya ialah suatu keadaan di mana dampak dari suatu kebijakan yang akan diambil setelah kebijakan sebelumnya, yang dapat menimbulkan suasana yang semakin memburuk. Akhirnya berujung pada timbulnya kekacauan atau bencana.
Kalau kita cermati perkembangan akhir-akhir ini di negeri kita, tanda-tanda memburuknya keadaan sudah terlihat. Sebagai contoh, sebelum wabah corona merebak, yaitu pada periode kuartal IV akhir tahun 2019, pertumbuhan ekonomi kita masih tercatat 4,97%.
Kemudian pada kuartal I/2020 pertumbuhan ekonomi tercatat hanya 2,97%. Pengangguran bertambah 4,86 juta, restrukturisasi kredit perbankan sampai 26 Mei 2020 mencapai Rp 517, 2 Trilyun yang mencakup 5,2 juta debitur, dan terus bertambah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, memprediksi sampai akhir tahun 2020 pertumbuhan ekonomi kita bisa 0 % atau bahkan bisa negatif. Beberapa pengamat juga menyampaikan prediksi pertumbuhan ekonomi 0% atau tidak tumbuh bahkan bisa -3,1%.
Artinya dalam penanganan pandemi ini ada kemungkinan keadaan semakin memburuk, ada risiko terjadinya depresi, perusahaan yang bangkrut akan semakin banyak, pengangguran semakin meningkat. Ujung-ujungnya bisa terjadi keresahan dan kerusuhan sosial.
Penangananan pandemi dengan melakukan PSBB lagi, juga bisa membawa risiko munculnya lingkaran setan: masalah kesehatan menimbulkan masalah ekonomi, kemudian masalah ekonomi menimbulkan masalah kesehatan dan seterusnya, berputar putar tanpa ujung pangkal yang jelas.
Jadi apa yang harus kita lakukan? Kita harus melakukan upaya-upaya pencegahan agar tidak muncul spiral maut tersebut.
Hanya saja yang harus kita perhatikan dengan seksama, sekarang ini pilihan kita tidak banyak. Bahkan jika kita belajar dari pengalaman kita sendiri dalam menangani pandemi Covid-19 dari sejak wabah merebak awal Maret 2020 sampai sekarang, kita hanya punya satu pilihan yang tersisa, yaitu mendisiplinkan masyarakat pakai masker.
Tentu dengan upaya lainnya yang sudah menjadi paket “tri tunggal” yaitu : Pakai Masker, Jaga Jarak, Jaga Kesehatan dengan sering cuci tangan.
Upaya meningkatkan kesadaran dan disiplin masyarakat memakai masker harus menjadi sebuah gerakan nasional yang masif. Gerakan Pakai Masker harus menjadi hajat hidup semua pihak, tanpa terkecuali. Pemerintah dan semua warga negara harus bergerak bersama bahu membahu menyadarkan masyarakat agar disiplin pakai masker.
Pilihan menggalakkan masyarakat pakai masker ini sebetulnya jauh lebih murah dari pada kita melakukan PSBB. Kita tahu PSBB biayanya mahal, karena kegiatan ini melibatkan banyak sekali pihak, memobilisasi pegawai negeri sipil, polisi, tentara dan sebagainya.
Memakai masker mungkin banyak yang menganggapnya sepele, remeh temeh. Tetapi jika masyarakat disiplin pakai masker, kita dapat menekan jumlah korban yang meninggal.
Apakah itu mungkin kita lakukan? Mengapa tidak? Memakai masker akan mengurangi risiko tertular dan menularkan virus corona turun hingga 70%. Jika ditambah dengan kebiasaan jaga jarak dan cuci tangan risiko tertular dan menularkan virus corona turun hampir 100%.
Tujuan utama gerakan pakai masker adalah untuk mengurangi jumlah korban nyawa karena pandemi Covid 19. Tetapi kita juga akan mendapatkan keuntungan lain jika gerakan pakai masker berhasil.
Apa saja keuntungan itu? Yang pertama, Indonesia akan menjadi negara pilihan teratas yang akan dikunjungi investor untuk melakukan transaksi bisnis, investasi dan perdagangan.
Kedua, Indonesia akan menjadi negara pilihan pertama yang akan dikunjungi wisatawan asing. Ketiga, warga negara Indonesia akan dipermudah memasuki negara lain. Keempat, jemaah haji dan umroh Indonesia akan segera dizinkan masuk oleh Pemerintah Arab Saudi.
Selain itu masih ada lagi keuntungan tambahannya. Yaitu kita dapat sekaligus melakukan upaya pencegahan timbulnya spiral maut dalam penanganan pandemi.
Kita juga bisa mengubah persepsi bangsa lain terhadap Indonesia, dari bangsa yang dianggap gagal menangani pandemi, menjadi bangsa yang berhasil dalam penanganan pandemi.
Di samping itu jika gerakan pakai masker berhasil, akan dapat menghindari kemungkinan dilakukannya PSBB lagi di masa yang akan datang. Karena jika dilakukan lagi PSBB , jelas akan membawa dampak lebih buruk pada perekonomian dan dunia bisnis. Jika kita melakukan PSBB lagi mungkin kita dapat menyelamatkan nyawa, tetapi kita tidak bisa menyelamatkan ekonomi.
Jika kita berhasil mencegah timbulnya spiral maut, artinya kita bisa mencegah timbulnya risiko terburuk yaitu depresi ekonomi dan kerusuhan.
Jika hal-hal di atas terjadi maka proses pemulihan perekonomian dijamin akan lebih cepat. Sektor pariwisata misalnya, yang menjadi salah satu tulang punggung ekonomi negara kita, penyumbang devisa terbesar, penyedia lapangan pekerjaan yang besar, akan bangkit dan hidup kembali.
Ayo kita bekerja keras bersama-sama mencegah agar tidak terjadi "death spiral" dalam penanganan pandemi Covid-19.