Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Persoalan Identitas Mudah Terkoyak. Begini Penjelasannya

Kemajemukan sebenarnya berkah bagi kehidupan manusia untuk saling menghormati satu sama lain. Bukan melahirkan pemenang atau pecundang.
Petugas berada di dekat api saat aksi protes atas kematian George Floyd di Minneapolis, Amerika Serikat, Senin (1/6/2020). Bloomberg/Getty Images/Stephen Maturen
Petugas berada di dekat api saat aksi protes atas kematian George Floyd di Minneapolis, Amerika Serikat, Senin (1/6/2020). Bloomberg/Getty Images/Stephen Maturen

Bisnis.com, JAKARTA – Kasus tewasnya warga kulit hitam Amerika Serikat (AS) George Floyd masih menyisakan pertanyaan besar mengenai keberlangsungan hidup di sebuah masyarakat majemuk.

Seperti halnya AS, Indonesia pun sebuah negara yang majemuk. Begitu majemuknya sehingga perlu dipersatukan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.  

Kasus Floyd seperti membuka kembali diskursus klasik: Perbedaan. Perbedaan dalam masyarakat bisa macam-macam. Itulah yang populer disebut SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan).

Kemajemukan ini sebenarnya berkah bagi kehidupan manusia untuk saling menghormati satu sama lain. Bukan melahirkan pemenang dan pecundang. Hitam atau putih. Keyakinan A atau keyakinan B, golongan C atau golongan D dan seterusnya.

Namun di sisi lain kemajemukan ternyata mengandung mara bahaya, karena memang tidak dipandang sebagai sesuatu yang membawa manfaat.  

Apalagi bila persoalan ini dijadikan agenda politik yang sistematis. Bisa runyam kerukunan. Sulutan berbahaya itu bisa langsung membuat kerinduan menjadi kebencian.

Identitas palsu yang ‘suci atau ‘agung’ dirancang untuk sebuah kemenangan yang picik dan jauh dari keadaban. Bahkan kekerasan pun kerap dipakai untuk menunjukkan eksistensi sebuah kelompok tertentu atas nama SARA atau identitas.

Lalu kenapa kasus semacam Floyd selalu muncul kembali di tengah peradaban dunia yang terus ditantang untuk senantiasa membangun kemajemukan yang konstrukstif?

Dalam bukunya yang terkenal Identity and Violence: The Illusion of Destiny (2006), Amartya Sen menegaskan bahwa banyak konflik dan kekejaman di dunia ini dipupuk melalui ilusi tentang adanya sebuah identitas yang tunggal dan tanpa pilihan.

Keterampilan dalam mengobarkan kebencian diwujudkan dalam upaya menyulut tenaga ajaib dari adanya anggapan tentang suatu identitas dominan yang bisa menenggelamkan afiliasi-afiliasi lainnya.

Dalam bentuknya yang agresif, menurut Sen, ilusi ini bahkan dapat mengalahkan rasa simpati dan kebaikan manusiawi apapun yang lazimnya ada pada diri manusia.

Hasilnya bisa berupa kekerasan buas di dalam negeri maupun keberingasan dan terorisme yang canggih di aras global.

Kotak-kotak identitas inilah, yang menurut Sen, bisa menjadi sumber kisruh atau malapetaka. Mengapa?

Peraih Nobel ini menjelaskan lebih jauh bahwa dunia kerap kali dipandang sebagai kumpulan agama-agama atau peradaban atau kebudayaan, dengan mengabaikan identitas-identitas lain yang dimiliki dan dihargai oleh manusia seperti kelas, jenis kelamin, profesi, bahasa, bidang keilmuwan, moral, dan keyakinan politik.

Pemilahan yang bulat-bulat ini bersifat lebih konfrontatif dibandingkan dengan kesatuan dari aneka macam klasifikasi majemuk yang membentuk dunia yang kita tinggali.

Reduksionisme yang didapati dalam teori-teori besar bisa memberi banyak sumbangan—kerap kali tanpa sengaja—dalam kekerasan yang berlangsung di tingkat politik praktis.

Namun Sen mengakui juga bahwa identitas dapat menjadi suatu sumber kesejahteraan dan kehangatan, sebagaimana halnya juga biang teror dan kekerasan.

Karena itu tidak masuk akal menganggap secara pukul rata bahwa identitas itu buruk. Sebaliknya yang perlu dibangun adalah pemperkuat pemahaman bahwa kekuatan suatu identitas agresif bisa dilawan oleh daya identitas yang 'kompetitif' atau 'saling bersaing'.

Tentu saja identitas yang 'saling bersiang' itu dapat mencakup kesatuan kemanusiaan kita bersama dalam lingkup luas.

Namun di dalamnya termasuk pula beragam identitas yang secara serentak dimiliki seseorang. Pemahaman semacam itu akan membawa kita pada cara yang berbeda dalam mengelompokkan orang.

Sebuah cara yang dapat mencegah dimanfaatkannya suatu model pengelompokkan tertentu untuk kepentingan aksi-aksi agresif.

Bagi kita di Indonesia, ini akan menjadi tantangan sekaligus pekerjaan rumah yang tak akan ada habisnya dalam merajut kedamaian dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Inria Zulfikar
Editor : Inria Zulfikar

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper