Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) mementahkan permohonan Persatuan Jaksa Indonesia ihwal pengujian materi UU No. 2/2014 tentang Perubahan atas UU No. 30/2004 tentang Jabatan Notaris.
Pangkal keberatan Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) adalah Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014. Pasal itu mengharuskan penyidik, jaksa penuntut umum, atau hakim untuk mendapatkan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) sebelum pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan notaris.
Minuta akta adalah akta asli yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan notaris yang disimpan sebagai bagian dari protokol notaris. PJI sebagai organisasi profesi jaksa di seluruh Tanah Air merasa dirugikan pengakuan peran MKN dalam proses tersebut.
Bercermin dari kasus konkret, MKN dituding tidak menyetujui pemanggilan seorang notaris sebagai saksi dalam perkara dugaan pemberian keterangan palsu di Bareskrim Polri. Tanpa kehadiran saksi itu, jaksa peneliti Kejaksaan Agung terpaksa mengembalikan berkas penyidikan kepada Bareskrim karena perkara kurang alat bukti.
Meski berpijak pada kasus konkret, MK ogah mengabulkan permohonan PJI. Pasalnya, Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014 pernah diuji oleh pemohon berbeda dan divonis dalam Putusan MK No. 22/PUU-XVII/2019.
Berdasarkan hukum acara MK, materi yang pernah digugat dapat diuji kembali asalkan pemohon baru menggunakan dasar konstitusionalitas berlainan. Menyadari hal tersebut, PJI mencantumkan tambahan argumentasi yakni Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Kendati demikian, MK memandang masalah konstitusionalitas permohonan PJI dengan gugatan sebelumnya tidak berbeda. Kedua pemohon sama-sama menyoal persetujuan MKN sebelum pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan notaris.
“Maka pertimbangan Mahkamah dalam pengujian Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014 dalam Putusan MK No. 22/PUU-XVII/2019 dimaksud mutatis mutandis berlaku pula terhadap permohonan a quo,” kata Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams saat membacakan pertimbangan Putusan MK No. 16/PUU-XVIII/2020 di Jakarta, Selasa (23/6/2020).
Selain PJI, pemohon dalam gugatan tersebut adalah empat jaksa Kejaksaan Agung. PJI diwakili oleh ketuanya, Setia Untung Arimuladi, yang saat ini berstatus Wakil Jaksa Agung RI.
Namun, MK menilai PJI dan tiga pemohon perorangan tidak memiliki kedudukan hukum dalam perkara tersebut. Hanya jaksa bernama Olivia Sembiring yang memiliki kedudukan hukum karena kerugian konstitusionalnya aktual dan spesifik.
Terkait kedudukan PJI, MK memandang tidak memenuhi ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasalnya, tidak semua jaksa berstatus sebagai penuntut hukum sehingga dirugikan dengan eksistensi Pasal 66 ayat (1) UU 2/2014.
“Mengadili, menolak permohonan pemohon II untuk selain dan selebihnya,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan.