Bisnis.com, JAKARTA – Mendiang sejarawan dan pastor kenamaan Adolf Heuken pernah mengutarakan argumen menarik soal Jakarta. Bagi pria kelahiran Jerman yang memutuskan pindah jadi WNI karena kecintaannya pada ibu kota tersebut, hari ulang tahun DKI Jakarta yang saban tahun diperingati pada 22 Juni adalah dongeng semata.
“Sampai sekarang hari ulang tahun Jakarta belum dapat ditentukan dengan pasti. Alasan pro dan kontra masih sama kuat,” kata Heiken dalam bukunya, Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta (1999: jilid 1, hal.62)
Heuken punya alasan. Menurut dia, hingga kini belum ada ada satupun dokumen sejarah kredibel yang bisa membenarkan bahwa hari ulang tahun Jakarta memang pantas diperingati pada 22 Juni. Termasuk Tjarita Purwaka Tjarupan Nagari, dokumen yang selama ini dijadikan landasan penetapan oleh Pemda DKI.
Menurut Heuken, dokumen itu masih perlu dibuktikan kebenarannya. Selama ini Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta memang menyosialisasikan 22 Juni 1527 sebagai kelahiran Jakarta. Namun faktanya, menurut Heiken, pada 1957 istilah Jakarta juga tidak pernah didengungkan secara resmi. Saat itu wilayah ini masih dikenal orang-orang dengan nama “Jayakarta.”
Istilah Jakarta baru muncul pada medio 1970an, tepatnya waktu serdadu Portugis menyebut Jayakarta sebagai ‘Jakarta’ dalam laporan pada atasan mereka.
Heuken sebenarnya tidak berniat menyalahkan perayaan yang ada. “Saya juga bukan orang yang membenci dongeng,” katanya lagi.
Namun, argumen Heiken bahwa peringatan tersebut tak didasari data empirik dan patut dikritisi tidak bisa pula disebut sebagai kesalahan.
Perdebatan soal tanggal yang layak diperingati sebagai hari kelahiran Jakarta bukan sekali dua kali saja terjadi. Pada 1988, Budayawan Betawi Universiti Kebangsaan Malaysia, Ridwan Saidi, juga pernah pula mengajak publik untuk menguji kebenarannya.
Saidi bahkan membuat teori lain bahwa Hari Ulang Tahun (HUT) Jakarta yang benar adalah 3 September 1945. Dasar yang ia pakai adalah penetapan Jakarta sebagai Kota Praja oleh Presiden Soekarno pada 3 September 1945.
Kenapa 22 Juni?
Terlepas dari pro dan kontranya, penetapan 22 Juni sebagai HUT Jakarta juga bukan dilakukan seenak jidatnya. Penetapan ini dilakukan oleh Sudiro, Gubernur ketiga Jakarta yang menjabat 1953-1958.
Kisah bermula pada 1955, tatkala Sudiro prihatin karena Jakarta tak punya hari lahir untuk dirayakan. Padahal, perayaan ulang tahun menurutnya adalah sesuatu yang penting.
Sebagaimana dinukil Alwi Shahab dalam Saudagar-Saudagar Baghdad dari Betawi (2009: hal.124), saat itu sebenarnya Sudiro punya opsi untuk menetapkan tanggal-tanggal di penghujung bulan Mei. Sebab, ketika ibu kota masih bernama Batavia dan berada dalam penjajahan, Belanda kerap membuat pesta perayaan pada penghujung Mei. Momen tersebut bertepatan dengan keberhasilan Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen menaklukkan Jayakarta pada 1619.
Tapi Sudiro tak menyukai gagasan tersebut. Baginya, merayakan hari lahir dengan mengacu pada kalender penjajah akan mencederai semangat bangsa Indonesia yang kala itu umur kemerdekaannya belum genap 10 tahun.
Sudiro lantas mengundang tiga sejarawan kondang ke ibu kota, untuk berdiskusi mencari tanggal yang lebih baik. Ketiga sejarawan itu masing-masing adalah Mohamad Yamin, Sukanto, dan wartawan senior Sudarjo Tjokrosisworo.
“Saya sangat ingin kelak memperingati dan merayakan hari lahir Jakarta setiap tahun. Para warga akan saya anjurkan memperingatinya,” demikian kata Sudiro kepada tiga tamunya, sebagaimana dicatat Alwi Shahab (hal.124).
Berbulan-bulan usai pertemuan itu, akhirnya lahirlah naskah berjudul Dari Jakyakarta ke Jakarta yang disusun Sukanto. Naskah ini—yang salah satunya menggunakan Tjarita Purwaka Tjarupan Nagari sebagai acuan—lantas mengusulkan agar 22 Juni 1527 jadi hari lahir Jakarta.
Tanggal ini dipilih karena bertepatan dengan keberhasilan Fatahillah mengusir portugis dari Jayakarta, yang sebelumnya biasa dikenal dengan sebutan Sunda Kelapa.
Naskah Dari Jakayakarta ke Jakarta lantas diserahkan Sudiro kepada Dewan Perwakilan Kota Sementara (setara DPRD untuk saat itu) guna mendapat tindak lanjut. Setelah melalui rapat resmi, akhirnya pengajuan tanggal Sudiro mendapat persetujuan.
Makin Meriah sejak Era Ali Sadikin
Sejak ditetapkannya 22 Juni sebagai HUT Jakarta, Jakarta lantas bergantian pernah dipimpin 13 sosok gubernur penerus Sudiro. Tiap-tiap gubernur punya cara masing-masing untuk membuat acara perayaan, namun sosok yang hingga kini kerap dijadikan pelopor acara-acara peringatan HUT Jakarta adalah Ali Sadikin.
Menjabat gubernur Jakarta pada 1996-1972 misal, Ali dikenal karena mencetuskan dua acara bernama Malam Muda-Mudi dan Jakarta Fair. Kedua acara ini dicetuskan pada 1968 alias tahun ketiga kepemimpinan Ali.
Malam muda-mudi merupakan panggung hiburan semalam suntuk di sepanjang jalan MH Thamrin, Jakarta. Acara ini dulu rutin digelar selama tiga hari, bertepatan dengan hari ulang tahun Jakarta, dan dimeriahkan pentas-pentas musik serta panggung remang-remang.
Kendati menuai pro-kontra karena dituding kerap jadi ajang pelegalan budaya seks dan miras, acara ini sukses menuai perhatian dan jadi primadona. Tiap tahun, orang-orang—tak cuma mereka dari kalangan muda—berbondong-bondong hadir.
Dalam otobiografinya Pers Bertanya Bang Ali Menjawab (1995), Ali berkata acara seremonial itu ia bikin karena keprihatinan orang miskin di ibu kota tak bisa menikmati hiburan malam. Ia ingin masyarakat umum sesekali bisa berpesta semalam suntuk. Sedangkan terkait ide, Ali terinspirasi dari kegiatan serupa yang rutin dihelat warga Rio De Janeiro.
“Saya sering lihat di majalah-majalah, ada Rio de Janeiro, kenapa Jakarta tidak bisa?” Kata dia.
Satu acara lain, Jakarta Fair alias Pekan Raya Jakarta (PRJ) merupakan kegiatan festival yang berjalan 1 bulan penuh, biasanya berlangsung pertengahan Juni hingga pertengahan Juli setiap tahunnya. Ide mengenai kegiatan ini bukan murni dari Ali, tapi juga berasal dari Samsudin Mangan, sosok yang kala itu menjabat Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN).
Pekan Raya Jakarta (PRJ) digelar pertama kali di Kawasan Monas tanggal 5 Juni hingga 20 Juli 1968 dan dibuka oleh Presiden Soeharto. Seiring berjalannya waktu, per 1992 lokasi acara ini dipindahkan ke Jakarta International Expo (JIExpo),
Berbeda dengan Malam Muda-Mudi yang riwayatnya tak panjang, PRJ hingga kini masih rutin diadakan setiap tahunnya. Termasuk pada 2019 lalu.
Sayang, tahun ini tradisi tersebut akhirnya terancam. Pandemi Covid-19 yang tengah menghantam daerah ibu kota bikin Gubernur Anies Baswedan tak punya opsi selain membatalkannya.
Pemda DKI Jakarta lantas mengganti peringatan ulang tahun dengan beragam acara virtual. Mulai dari tur objek wisata sampai panggung hiburan daring.
Anies lantas menjanjikan bahwa bila pandemi segera berlalu, Pemda bakal tetap mengupayakan PRJ tetap ada meski tak bisa bertepatan dengan hari ulang tahun Jakarta.