Bisnis.com, JAKARTA - Pembicaraan perdagangan antara Uni Eropa dan Inggris telah mengalami kesulitan dalam beberapa pekan terakhir. Hal itu meningkatkan kemungkinan bahwa Inggris akan meninggalkan blok tanpa kesepakatan dagang.
Jika terjadi, hal itu akan semakin keras memukul ekonomi Inggris yang sudah terpuruk karena pandemi virus corona. Inggris pun menghadapi kemungkinan resesi terdalam sepanjang sejarah dengan perusahaan-perusahaan berupaya bertahan di tengah karantina nasional. Perdana Menteri Boris Johnson terjebak antara pilihan menghidupkan kembali bisnis dan menghindari gelombang kedua pandemi.
Sementara itu, negosiasi dengan Uni Eropa untuk perjanjian ekonomi yang komprehensif mandek karena kedua belah pihak tidak mau mengalah pada ketentuan dasar. Perselisihan itu mendorong kedua belah pihak menuju Brexit tanpa kesepakatan yang akan menciptakan ketegangan serius bagi perusahaan.
"Untuk bisnis, pekerjaan, dan kepercayaan ekonomi dalam tahun yang paling menantang, ini akan menjadi sesuatu yang mengejutkan bagi perusahaan yang tengah berjuang melalui krisis," kata Carolyn Fairbairn, Direktur Jenderal Konfederasi Industri Inggris, dilansir Bloomberg, Kamis (11/6/2020).
Kebuntuan dalam pembicaraan perdagangan UK-UE bermuara pada ketidaksepakatan dasar. Sebagai imbalan atas kesepakatan nol tarif, nol kuota, Uni Eropa ingin negara itu menandatangani ketentuan yang akan mencegah Inggris meremehkannya di bidang-bidang seperti peraturan lingkungan dan tenaga kerja, dan bantuan negara. Downing Street menolak permintaan itu karena tidak konsisten dengan prinsip kedaulatan yang merupakan inti dari Brexit.
Jika kemajuan yang cukup dalam perundingan tidak disepakati bulan ini, Inggris mengatakan akan memutuskan negosiasi dan memberi tahu bisnis untuk mempersiapkan pemisahan tanpa kesepakatan.
Hal itu akan memukul industri dengan pengenaan tarif tambahan. Nissan Motor Co, misalnya, yang mempekerjakan 6.000 orang di sebuah pabrik di Kota Sunderland, mengatakan produksi menjadi riskan karena ekspor mobil ke blok akan menghadapi tarif 10 persen.
"Ketika Anda berada dalam bisnis volume tinggi, margin rendah, tarif 10 persen menghilangkan peluang daya saing," kata Mike Hawes, Chief Executive Officer Society of Motor Manufacturers and Traders.
Perusahaan grosir seperti Tesco Plc, Wm Morrison Supermarkets Plc dan J Sainsbury Plc akan menghadapi kisaran kenaikan harga sekitar 80% pada makanan impOr dari UE. Banyak barang kemudian akan dikenai tarif seperti, zaitun, jamur dan satsumas dengan retribusi 16%. Anggur Eropa juga akan dikenakan tarif 17 pound (US$21) per setengah liter.
Sementara itu di industri pertanian, Inggris mengirimkan sekitar dua pertiga dari ekspornya ke UE, yang akan dikenakan tarif yang tinggi di bawah Brexit tanpa kesepakatan. Tarif itu akan melebihi 40 persen untuk potongan daging sapi dan domba, dan 15 persen untuk daging babi.
"Tidak adanya kesepakatan [setelah Brexit], akan menghancurkan [industri]. Kami membutuhkan pasar ekspor," kata Ellie Phipps, pejabat kebijakan di National Sheep Association.
Demikian pula di sektor jasa yang berkontribusi 80 persen pada ekonomi Inggris. Brexit tanpa kesepakatan akan memukul kemampuan perusahaan-perusahaan Inggris untuk melakukan bisnis di UE.
Di sektor finansial, bank-bank global seperti HSBC Holdings Plc dan JPMorgan Chase & Co. harus memindahkan kantor ke kota-kota seperti Frankfurt, Paris, Dublin dan di tempat lain dalam blok untuk memastikan tidak ada gangguan pada operasi. Namun, mereka mendesak UE dan Inggris untuk mengizinkan sebanyak mungkin perdagangan dan bisnis tetap di Inggris.
Sedangkan raksasa farmasi seperti AstraZeneca Plc dan GlaxoSmithKline Plc, perhatian utama Brexit adalah regulasi. Inggris berharap beberapa bentuk saling pengakuan pengujian untuk obat-obatan dan alat keseahatan. Namun, diskusi dengan Uni Eropa sejauh ini telah hanya membuat sedikit kemajuan.
Di bidang energi, Inggris mengimpor sekitar 10 persen kekuatannya dari benua Eropa. Setelah Brexit, sistem listrik Inggris akan dipisahkan dari Pasar Energi Internal Eropa, tetapi itu tidak berarti gas dan listrik akan berhenti mengalir.
Namun, perdagangan dapat menjadi kurang efisien dan pasokan jangka panjang menjadi kurang pasti, sehingga meningkatkan biaya bagi konsumen. Ini akan menjadi benar terutama pada saat-saat gangguan pasokan yang tidak direncanakan atau cuaca ekstrem.