Bisnis.com, JAKARTA - Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga. Pepatah ini cocok untuk menggambarkan akhir pelarian bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi Abdurrachman.
Sejak 11 Februari 2020 lalu, KPK telah menetapkan Nurhadi & menantunya sebagai buron. Penetapan buron ini terkait pengurusan perkara kasus perdata PT. MIT melawan PT. KBN (Persero) pada 2010 silam.
Namun, menangkap Nurhadi tidaklah gampang. Dia dikenal licin dan memiliki koneksi orang penting. Kasusnya juga cenderung timbul tenggelam karena proses penegakan hukum yang kerap tak konsisten.
Tetapi malam itu, Nurhadi tak berkutik. Pada malam buta, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencokoknya di sebuah rumah sewa di kawasan Jakarta Selatan. Nurhadi ditangkap bersama menantunya, Rezky Herbiyono.
"Betul, tadi malam di salah satu rumah di Jaksel," ujar Ketua KPK Firli Bahuri kepada Bisnis, Selasa (2/6/2020).
Sejatinya, nama Nurhadi sudah lama masuk dalam radar lembaga antikorupsi. Sewaktu masih aktif menjabat sebagai Sekretaris MA, nama Nurhadi kerap disebut tersangkut skandal.
Baca Juga
Bisnis pernah menelusuri sejumlah 'skandal' yang menyeret nama Nurhadi. Salah satu kasus yang menyita perharian publik terjadi sekitar tahun 2016. Kasus ini terkait keterlibatan Nurhadi dalam jual beli perkara yang membelit sejumlah perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Lippo.
Ada dua kasus yang menyeret Nurhadi maupun Lippo ke ranah penegakan hukum. Keduanya yakni terkait penundaan proses pelaksanaan aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana dan permintaan untuk menerima pendaftaran peninjauan kembali PT Across Asia Limited (AAL) meskipun sudah telat.
Menariknya, untuk mengurus dua perkara itu, pihak yang berperkara menggunakan PT Artha Pratama Anugerah sebagai perantara. Dalam konstruksi kasus milik KPK, PT Artha Pratama Anugerah adalah anak usaha Grup Lippo. Salah satu petinggi PT Artha Pratama Anugerah adalah Eddy Sindoro.
Eddy Sindoro, saudara kandung Billy Sindoro, sama-sama dikenal dekat dengan Grup Lippo. Eddy adalah mantan petinggi grup tersebut. Di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Eddy bahkan mengaku pernah menempati jabatan strategis di Grup Lippo.
"Setelah tahun 2009, saya pensiun," kata Eddy dalam persidangan yang digelar Jumat (22/2/2019) silam.
Selain Eddy Sindoro, di PT Artha Pratama Anugerah juga terdapat nama Doddy Aryanto Supeno. Dalam Prospektus PT Lippo Karawaci Tbk Tahun 2004, Doddy merupakan Direktur PT Kreasi Dunia Keluarga, salah satu perusahaan yang dikendalikan Grup Lippo. Baik Eddy maupun Doddy telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor.
Bagaimana peran Nurhadi?
Kisah keterlibatan Nurhadi juga tak lepas dari kedua kasus di atas. Namun, konstruksi hukum yang disusun KPK, menyebutkan peran Nurhadi yang cukup menonjol terjadi ketika pengurusan pengajuan peninjauan kembali PT Across Asia Limited (AAL) yang sudah kedaluwarsa.
Nurhadi diketahui berkomunikasi dengan Edy Nasution, mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (sudah divonis). Peristiwa itu terjadi pada 30 Maret 2016, saat berkas perkara PT AAL dikirim ke Mahkamah Agung (MA).
"Sebelum berkas perkara dikirim, Nurhadi menghubungi Edy Nasution agar berkas perkara niaga PT AAL vs First Media segera dikirim," demikian bunyi kutipan dalam dakwaan milik Doddy Aryanto Supeno.
Sementara dalam persidangan Doddy Aryanto Supeno, sebagai terdakwa penyuap Panitera Pengadilan Jakarta Pusat, nama Nurhadi kembali disebut. Nurhadi disebut memiliki peran cukup sentral dalam pengurusan perkara yang melibatkan bekas petinggi Lippo, Eddy Sindoro.
Peranan itu terkuak melalui Wresti Kristian Hesti yang juga anak buah Eddy Sindoro. Wresti menyebut Nurhadi sebagai seorang promotor. Setiap surat terkait pengurusan perkara milik Eddy Sindoro, selalu ditujukan kepada sang "promotor" tersebut.
Wresti yang kala itu menjadi saksi untuk terdakwa Doddy Aryanto Supeno tak tahu soal isi surat pengajuan kepada promotor itu. "Sebagian surat memang ditujukan ke promotor, yang menurut Pak Doddy adalah Nurhadi," kata Wresti dalam persidangan Juli 2016.
Nurhadi sejak kasus pertama bergulir, diketahui tak kooperatif. Dia kerap mangkir dari panggilan KPK dan tak pernah hadir di kantor MA.
Mantan Hakim Agung MA Gayus Lumbuun, tahun 2016 masih menjabat hakim agung, pernah secara blak-blakan mengatakan bahwa Nurhadi tak pernah masuk kantor pascaserangkaian kasus yang menjeratnya.
"Nurhadi sudah 30 hari tidak berada di kantor. Hal itu menghambat proses administrasi di Mahkamah Agung,” ujar Gayus Lumbuun kepada Bisnis, Kamis (19/5/2016).
Nurhadi diketahui kerap berpindah-pindah tempat untuk mengelabui kejaran penyidik antirasuah. Rumahnya yang megah di Jalan Hang Lekir menjadi saksi bisu upaya Nurhadi berkelit dari kejaran penegak hukum. Dia diketahui sempat berusaha memusnahkan barang bukti ke toilet.
Penyidik KPK sebenarnya berulang kali ingin meminta keterangan Nurhadi. Namun penyidik KPK tak bisa berkutik. Pasalnya, selain sebagai tokoh kunci, Nurhadi juga waktu itu kabarnya 'dilindungi' orang-orang bersenjata.
Setelah hampir empat tahun bersembunyi, kisah Nurhadi kini berakhir. Dia tak bisa berkelit ketika penyidik KPK menjemputnya di sebuah rumah di kawasan Jakarta Selatan.