Bisnis.com, JAKARTA - Kota London Inggris menjadi salah satu kota dengan jumlah kasus virus corona cukup tinggi.
Dan ternyata, di salah satu RS di kota itu, seorang dokter muda Indonesia berpartisipasi di garis depan rumah sakit di kota London dalam melayani dan merawat para pengidap virus corona, yang terus menelan korban jiwa hingga saat ini.
"Tak ada yang bisa memprediksi kapan corona berakhir," kata dokter Ardito Widjono (26) dikutip dari Antara.
Dito, putra pertama pasangan Argo Onny Widjono dan Endang Nurdin yang bekerja di BBC Indonesia itu, bertugas di rumah sakit Barnet di London utara, salah satu rumah sakit yang khusus merawat pasien corona sejak akhir Maret lalu. Saat kasus infeksi COVID-19 di Inggris baru sekitar 17 ribu dengan jumlah meninggal sekitar 1.000 orang.
Di rumah sakit itu, para dokter, termasuk Dito, mengalami beban yang sedemikian rupa, termasuk menyaksikan banyak pasien meninggal. Mereka mengontak atau menelpon keluarga pasien yang meninggal.
Dito, yang berhasil menyelesaikan pendidikan pada 2017 di program studi kedokteran King's College London, awalnya bertugas di bagian ortopedi atau bedah tulang, terus dirotasi dari semua unit, bertugas sebagai dokter untuk anak-anak dan orang dewasa lalu ditarik untuk bertugas di bagian gawat darurat COVID-19.
Untungnya para dokter yang bertugas di rumah sakit Barnet, khusus corona mendapat tempat tinggal semacam asrama di dekat rumah sakit supaya mereka tidak menulari keluarga."Menjelang akhir Maret 2020, setelah menghabiskan empat bulan bekerja di bedah ortopedi, saya menerima email dari direktur medis rumah sakit yang menjelaskan bahwa saya akan dipindahtugaskan ke bagian gawat darurat," katanya.
Dia mengatakan sebagian besar dokter junior di rumah sakit juga ditarik dari berbagai spesialisasi medis dan bedah untuk membentuk satu tim tenaga kerja yang bersatu melawan COVID-19.
"Saya senang dengan kepindahan tersebut dan saya merasa bisa berada di tempat yang paling dibutuhkan dan saya bangga akan dapat menggunakan keterampilan saya untuk membantu para penderita penyakit yang belum ada obatnya," ujar Dito, yang pernah sukses menggelar promosi Indonesia bertajuk Indonesia Weekend, di Potters Fields dengan latar Tower Bridge di depan kantor wali kota London.
Lebih lanjut Dito mengatakan tugasnya di garis depan corona bertepatan dengan minggu pertama saat puncak kasus corona melanda Inggris.Pada hari pertama bertugas, tuturnya, terasa seperti memasuki tugas militer dengan pengarahan sebelum pergi ke laga pertempuran.Lusinan dokter junior dan senior berkerumun di ruang khusus untuk merumuskan rencana tugas dan tanggung jawab.
"Banyak dari kami belum pernah melihat pasien dengan gejala COVID-19 sebelumnya dan ,beberapa dari kami tidak bekerja di bangsal medis selama bertahun-tahun," katanya.
Namun demikian, sebagian besar dari para dokter itu bersemangat untuk menghadapi tantangan sekali seumur hidup ini, ujar Dito yang pernah menjadi komentator Sepak Bola Liga Premier, berbahasa Indonesia.
Tak semua rencana kerja yang disusun berjalan lancar. Dalam praktiknya, banyak kejadian yang tak terpikirkan sebelumnya. Sepertiga tenaga dokter harus mengisolasi diri karena diduga tertular corona. Akibatnya, setiap pagi ada perombakan besar komposisi dokter yang bertugas. Semua ini untuk mengisi kekosongan dalam unit kerja dan memastikan bahwa setiap lingkungan satuan kerja memiliki staf yang memadai.
Menurut Dito, saat ia berjalan melewati lingkungan pasien corona, setiap hari ia merasakan ketegangan, yang juga dirasakan rekan-rekannya. Ada perasaan bahaya potensial di balik setiap pintu ke kamar pasien dengan COVID-19. Apalagi para petugas medis masih ada ketidakpastian perasaan tentang spesifikasi alat pelindung diri (APD).
Rumah sakit-rumah sakit di Inggris sempat kekurangan APD sehingga dokter dan petugas medis disarankan menggunakan ulang APD yang te;ah dipakai, padahal standar medis mengharuskan sekali pakai dan buang. Namun kekurangan itu segera diatasi oleh otoritas kesehatan di Inggris dengan mengimpor APD dalam jumlah besar dari China.
Panduan untuk APD terus berkembang dan pembaruan perlengkapan medis datang setiap beberapa hari.Setiap informasi baru yang diberikan mengenai penggunaan perangkat medis yang baru kadang menambah kebingungan dan ada juga rasa frustrasi yang berkembang seputar kekurangan APD.
"Terlepas dari situasi keterbatasan APD, kami semua bertekad untuk memberikan pasien kami perawatan terbaik, " ujar Dito yang meraih sarjana spesialisasi imaging sciences di tahun 2015 yang memungkinkan mahasiswa kedokteran meraih gelar ganda.Dito sempat bertugas selama satu tahun di University College Hospital, London dan sejak Januari di Barnet Hospital dan pada akhir Maret khusus bertugas di bagian perawatan COVID-19.
Dito yang sempat jadi pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia United Kingdom dan pengurus Young Indonesian Professionals Association (YIPA) mulai terbiasa merawat pasien corona setelah beberapa hari bertugas. “Kami merasa lega mendapati bahwa sebagian besar pasien kami membaik dan akhirnya dipulangkan. Tetapi bagi mereka yang memburuk, itu adalah pilihan yang sulit antara perawatan intensif atau tinggal di bangsal untuk perawatan paliatif, memastikan mereka bisa senyaman mungkin meskipun menjelang akhir hidup mereka," katanya.
Menurut Dito, ambang batas untuk memasuki perawatan intensif untuk ventilasi sekarang jauh lebih tinggi daripada sebelumnya. Pasien yang lebih muda lebih bertahan hidup. Sejumlah besar pasien meninggal di bangsal, yang sebelum pandemi berkesempatan masuk ke perawatan intensif .
Dito pun mengakui jumlah kematian akibat corona tidak seperti yang pernah disaksikannya sebelumnya dalam kariernya. “Kami menelepon kerabat pasien setiap hari untuk menginformasikan tentang perkembangan dan mencoba memberikan kepastian," katanya.
Menyampaikan berita bahwa seorang pasien meninggal lewat telepon beberapa kali sehari, hampir setiap hari, merupakan beban yang memilukan, tutur Dito."Saya sering menghabiskan malam hari untuk berdoa agar semua ini segera berakhir," kata Dito yang pada 2018 membentuk badan amal untuk kesehatan anak-anak yatim di Uganda.