Bisnis.com, JAKARTA—Politik Indonesia memang tidak seperti yang ada dalam pemikiran Finck. Kita bukan negara one-man-show atau totaliter. Kelucuan dan bahkan juga kekonyolan politik hidup subur.
Humor politik tingkat tinggi berdengung ibarat tawon. Riuh. Tak terkecuali di musim pandemi Covid-19 saat ini. Namun mungkin intensitasnya agak berkurang karena orang harus memakai masker. Membuat orang jadi susah diukur kadar humornya, karena wajah, terutama hidung dan mulutnya tertutup.
Kalaupun masih bisa, terdengar tidak jelas karena omongannya terhalang masker. Tapi jangan salahkan masker. Toh bila seseorang piawai berhumor, apapun medan dan kondisinya sanggup dia kuasai. Suasana pun menjadi jenaka walau sejenak.
Kembali ke soal humor. Hal ini tentu tidak terjadi di negara-negara berpemimpin tangan besi. Politik dan pemilu di negara-negara ini bisa dibilang cuma hiasan. Para politisinya bisa saja memanipulasi pemilu, membungkam pendapat umum, dan melumpuhkan bandit-bandit fanatik.
"Akan tetapi terhadap humor, mereka tidak berdaya," sindir Finck (1978). Von Werner Finck adalah komedian yang juga aktor dan seniman kabaret kondang asal Jerman. Sosok ini cukup berpengaruh di era Perang Dingin.
Dalam hitungan bulan, bila tak meleset lagi, Desember mendatang para politisi anak negeri akan berlaga di ajang pilkada serentak. Memang ada opsi lainnya setelah akhir tahun ini bila wabah tak kunjung reda.
Mereka yang terpilih bisa jadi sudah masuk ‘jalur cepat’ menuju panggung kekuasaan yang lebih tinggi. Hari berganti hari sampai akhirnya mendekati hari H pilkada, bisa dipastikan sepak terjang, debat kusir, wacana hingga argumen politik meriah bak pasar malam.
Finck ada benarnya. Lebih baik melihat panggung politik dalam rona apapun dan dimanapun dari sisi humornya saja. Hal-hal yang berat dan bikin pening kepala serahkan saja kepada penguasa biar segera dibenahi.
Pandemi Covid-19 berangsur berganti ke new normal (kenormalan baru). Bikin banyak orang kagok pada awalnya. Sudah siapkah kita menuju pilkada new normal? Kita lihat saja. Saling ngotot malah bisa dibikin lucu.
Bagi penguasa bertangan besi, soal yang satu ini masalah besar. Paling banter penguasa hanya mampu mencekik batang leher si tukang cerita. Namun humor itu sendiri selalu dapat meloloskan diri dari setiap kejaran aparat.
Untunglah Indonesia tidak sehoror itu. Politik di negeri ini sungguh amat cair. Yang semula oposisi, besok bisa saja menjadi rekan koalisi satu komando. Kemarin baku hantam. Hari ini berangkulan. Dulu saling hujat. Sekarang dekat di hati.
Pernah dengar seorang memaki bahwa ‘politik itu busuk’? Jika yang berkata demikian orang awam, tak perlu dipercaya. Bisa jadi itu cuma luapan frustasi atau sekadar iri dan dengki terhadap kemilau kehidupan kaum politisi.
Apa hubungannya dengan humor? Tunggu dulu. Ternyata umpatan tersebut berasal dari Winston Churchill, politisi ulung Inggris. Bisa jadi benar adanya. Dan kebetulan dari masalah-masalah busuk sering muncul apa yang dinamakan 'humor'.
''Humor biasanya tumbuh subur di suasana yang kontradiktif dan munafik, dimana realita tidak sesuai, bahkan bertolak belakang dengan apa yang diidamkan," tulis Jaya Suprana dalam kata pengantarnya untuk Der Politische Witz karya Milo Dor dan Reinhard Federmann.
Karena itu tak heran apabila salah satu masalah yang kerap menjadi korban humor adalah politik. Betapa tidak? Suasana politik yang di luar tampak begitu anggun tetapi di dalam perutnya ternyata penuh akal-akalan busuk, seperti dikatakan Churchill tadi. Itu saja sudah menimbulkan kejenakaan.