Bisnis.com, JAKARTA - Tanggal 21 Mei 1998 adalah tanggal bersejarah bagi perjalanan bangsa Indonesia. Tepat hari ini, 22 tahun lalu, Soeharto resmi menanggalkan jabatannya sebagai Presiden setelah 31 tahun berkuasa.
Soeharto, yang saat itu belum genap berusia 77 tahun, 'turun tahta' dengan perasaaan berkecamuk di dadanya. Pasalnya anak emas sang pensiunan jenderal, Harmoko, yang kala itu menjabat sebagai Ketua MPR merupakan sosok yang meminta langsung dirinya mundur.
"Saya sendiri yang akan jawab permintaan [Harmoko]," kata Soeharto menjawab desakan itu, seperti diwartakan koran Bisnis Indonesia edisi 19 Mei 1998.
Sikap Harmoko bukan tanpa sebab. Permintaan itu ia lontarkan lantaran sehari sebelumnya Gedung DPR/MPR di Jakarta disegel rapat. Kompleks kantor wakil rakyat ini diwarnai sorak-sorai ribuan mahasiswa, puluhan cendekiawan, dan beberapa pensiunan jenderal.
Mereka semua menuntut reformasi dan mendesak presiden untuk menyampaikan pertanggungjawaban dan mengundurkan diri dari jabatannya. Menjelang sore, sekitar pukul 15.00, setelah Harmoko menjamin langsung tuntutan itu, barulah para orator meninggalkan Senayan.
Walau realistis, sikap Harmoko bukannya tanpa kecaman.
'Anak emas' Soeharto yang lain, Wiranto, tanpa tedeng aling-aling mengutarakan ketidaksepahaman terhadap argumen kawannya tersebut.
"ABRI berpendapat dan memahami bahwa pernyataan pimpinan DPR agar Presiden Soeharto mengundurkan diri adalah sikap dan pendapat individual, meskipun disampaikan secara kolektif," ucap Wiranto, yang saat itu menjabat Menhankam/Pangab Jenderal TNI, masih dikutip dari Harian Bisnis Indonesia.
Menurut Wiranto, mundurnya pak Harto bukan satu-satunya opsi. Ia menilai kewajiban utama pemerintah saat itu adalah melakukan reshuffle menyeluruh. Terlebih, ia menilai pendapat Harmoko tak punya kekuatan hukum yang mengikat bila ditarik ke Undang-Undang yang ada.
Dua sikap berseberangan Wiranto dan Harmoko sempat bikin Soeharto pusing tujuh keliling untuk ambil langkah. Sejak 18 Mei 2020 petang, ia akhirnya mengundang menteri-menteri dan pejabar lain untuk mampir ke kantornya dan dimintai nasihet.
Beberapa sosok itu di antaranya Wapres BJ Habibie, Menko Polhukam Faisal Tanjung, Menko Wasbang Hartanto, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita, Mendagri R Hartono, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Subagyo Haris, Pangkostrad TNI Prabowo Subianto, hingga Pangdam Jaya TNI Sjafrie Syamsoeddin.
Lewat perbincangan bertahap dengan sosok-sosok di atas, Soeharto akhirnya mebulatkan tekad untuk memilih mundur.
Kemunduran yang barangkali sudah diduga banyak pihak, namun hal itu barangkali tak akan terlaksana bila tak ada kecamuk yang ditimbulkan akibat polarisasi Harmoko dan Wiranto.