Bisnis.com, JAKARTA – Komunikasi pemerintah kepada masyarakat terhadap program asimilasi dan integrasi narapidana di tengah pandemi Covid-19 dinilai masih buruk.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai NasDem Taufik Basari mengatakan kebijakan asimilasi dan integrasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM sebenarnya merupakan keputusan yang tepat. Hal tersebut mengingat overcrowding di lapas atau rutan yang masih terjadi di Indonesia.
Namun, Taufik menyayangkan minimnya komunikasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh Kemenkumham kepada masyarakat terkait program ini. Hal ini berakibat pada munculnya anggapan-anggapan negatif dari masyarakat mengenai kebijakan asimilasi dan integrasi napi.
“Komunikasi terkait program ini juga tidak dibarengi dengan edukasi ke masyarakat terkait dunia pemasyarakatan Indonesia. Mereka masih menganggap pemasyarakatan sebagai hal negatif. Padahal, sistem pemasyarakatan kita telah beralih ke sistem keadilan restoratif,” jelasnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPR RI dengan Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham Reynhard Silitonga.
Taufik mencontohkan, kurangnya komunikasi tersebut terlihat dari persepsi masyarakat yang menganggap program asimilasi dan integrasi sama dengan pembebasan narapidana. Padahal, program ini memiliki syarat dan ketentuan tertentu bagi para napi yang mengikuti dan diawasi oleh pemerintah.
“Selain itu, selama ini saya juga belum pernah mendengar terkait kelanjutan narapidana yang mengikuti program ini. Apa yang dilakukan napi ini selama asimilasi dan integrasi? Apa saja kegiatan yang harus mereka lakukan dan bagaimana jika mereka telah selesai menjalani masa tahanan mereka,” imbuhnya.
Baca Juga
Ia melanjutkan, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat wajib dilakukan dengan baik oleh Kemenkumham dan Dirjen Pemasyarakatan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan webinar, diskusi, atau kajian-kajian lainnya.
“Untuk Dirjen Pemasyarakatan juga dapat menggandeng akademisi dan pakar-pakar terkait untuk membahas kebijakan ini dan mengapa langkah ini tepat untuk kondisi seperti sekarang,” pungkasnya.
Lapas untuk Membina
Sebelumnya, Kriminolog Leopold Sudaryono menyatakan, saat ini masyarakat Indonesia masih menganggap para pelaku kejahatan dimasukkan ke dalam lapas untuk dihukum seberat-beratnya hingga kembali ke masyarakat.
Padahal, tujuan kehadiran lapas adalah untuk membina para narapidana agar siap kembali terintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat. Sentimen negatif tersebut, lanjutnya, berdampak pada munculnya ketakutan masyarakat dan kabar-kabar palsu (hoaks) terkait program ini.
“Konsep hukuman di lapas bagi kebanyakan masyarakat masih cukup kasar. Mereka (narapidana) dimasukkan ke dalam lapas untuk dihukum seberat-beratnya dengan menggunakan penderitaan,” jelasnya.
Hal tersebut diamini oleh Kriminolog FISIP UI Iqrak Sulhin. Menurutnya, saat ini Ditjen Pemasyarakatan dinilai belum melakukan komunikasi terkait kriteria penilaian yang dilakukan lapas sebelum melakukan pembebasan napi. Selain itu, mereka juga belum menjelaskan dengan lengkap proses pengawasan dan bimbingan yang dilakukan oleh Ditjen Pemasyarakatan kepada narapidana yang masuk dalam program ini.
Untuk itu, ia menyarankan pihak berwenang untuk menjelaskan dengan komprehensif terkait kedua hal tersebut kepada masyarakat luas. Perbaikan mekanisme penilaian sesuai dengan ketentuan revitalisasi pemasyarakatan juga perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat residivisme narapidana.
“Penjelasan ke masyarakat juga termasuk bagaimana teknis pengawasan online yang selama ini dibicarakan, skenario mitigasi masalah-masalah yang akan muncul, dan koordinasi dengan pihak-pihak lain seperti kepolisian,” jelasnya.