Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sekelumit Panggung Politik Kaum Buruh

Tak dapat dipungkiri, persoalan buruh dan ketenagakerjaan di negeri ini mempunyai sejarah panjang. Buruh seperti memiliki panggung politiknya sendiri dalam dinamika pergulatan republik.
Buruh dari berbagai serikat pekerja melakukan aksi memperingati Hari Buruh Internasional (May Day) di kawasan Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta, Rabu (1/5/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat
Buruh dari berbagai serikat pekerja melakukan aksi memperingati Hari Buruh Internasional (May Day) di kawasan Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta, Rabu (1/5/2019)./Bisnis-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA – Beberapa hari sebelum peringatan May Day atau Hari Buruh 1 Mei 2020, tiba-tiba muncul perkembangan menarik. Presiden Joko Widodo mengumumkan penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan.

Kado May Day dari pemerintah? Jelas bukan.

Sedianya para buruh sudah bersiap menggelar demo besar-besaran pada 30 April untuk mempersoalkan ketentuan tersebut. Segera saja pernyataan Presiden ini disambut antusias oleh organisasi pekerja.

Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar berpendapat keputusan penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja tersebut sudah baik untuk mencegah aksi demonstrasi buruh besar-besaran.

“Jadi, pemerintah sudah siap menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan RUU Ciptaker selagi pandemi Covid-19. Namun demikian, persoalannya bukan sekadar penundaan. Sebenarnya tuntutan pekerja adalah bagaimana RUU Ciptaker yang membahas soal klaster ketenagakerjaan juga bisa dibahas sebelumnya dengan melibatkan para pekerja,” tegasnya (Bisnis.com, 26 April).

Konferensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) juga merespon positif penundaan pembahasan tersebut. Namun persoalan masih jauh dari selesai. "Maka dengan demikian, serikat buruh termasuk KSPI dengan ini menyatakan batal atau tidak jadi aksi pada tanggal 30 April di DPR RI dan Kemenko Perekonomian," kata Presiden KSPI Said Iqbal (Bisnis.com, 25 April).

Selanjutnya akan ada pembahasan ulang atas klaster ketenagakerjaan yang saat ini cenderung merugikan pekerja. "Harus ada pembahasan ulang draf RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Pembahasan tersebut dilakukan setelah pandemi COVID-19 selesai," kata Said.

Sejak awal klaster ketenagakerjaan memang merupakan salah satu klaster yang paling banyak dipermasalahkan dalam RUU Cipta Kerja.

Untuk sementara, tensi politik mereda. Orang kembali fokus pada masalah Covid-19 dengan segala problematikanya, yang juga berujung pada larangan mudik.

Tak dapat dipungkiri, persoalan buruh dan ketenagakerjaan di negeri ini mempunyai sejarah panjang. Buruh seperti memiliki panggung politiknya sendiri dalam dinamika pergulatan republik.

Bahkan dalam hitungan pekan setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, buruh langsung bergerak untuk menunjukan jati dirinya sebagai salah satu pilar kebangsaan yang tidak boleh dipandang sebelah mata.

Para pemimpin kaum buruh memahami bahwa perjuangan untuk mengisi semangat proklamasi kemerdekaan oleh kalangan buruh harus dikoordinasikan dan dilakukan sesuai dengan asas-asas gerakan buruh.

Untuk itu pada 19 September 1945, sejumlah perwakilan kaum buruh menggelar konferensi di Jakarta untuk mendiskusikan peranan mereka dalam perjuangan pendirian republik, sekaligus menentukan asas-asas bagi gerakan buruh sesuai dengan beragam tuntutan zaman baru itu.

Mereka akhirnya sepakat membentuk sebuah organisasi yang dapat mempersatukan dan mewakili serikat-serikat buruh yang ada maupun organisasi buruh lainnya.

“Untuk menghadapi situasi yang gawat itu, organisasi mesti diberi bentuk dan sifat sebuah organisasi perjuangan. Suatu front kaum buruh,” ujar Iskandar Tedjasukmana dalam studinya berjudul The Political Character of the Indonesian Trade Union Movement.

Siapa Iskandar? Kecuali sebagai penulis studi tersebut, tokoh yang satu ini tampaknya sudah terlupakan, termasuk oleh kaum buruh dan pekerja sekalipun dewasa ini.

Dalam rangka May Day, ada baiknya mengenang kembali kiprah beliau di era yang sarat dengan pergolakan. Dia adalah menteri perburuhan dalam tiga kabinet Indonesia berbeda-beda di dekade awal republik ini berdiri.

Diawali di Kabinet Sukiman (27 April 1951—2 April 1952), lalu Kabinet Wilopo (3 April 1952—31 Juli 1953), dan Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus 1955—27 Maret 1956). Selain itu Iskandar pernah sebagai Ketua Biro Politik Partai Buruh periode 1951-1956.

Dari 1946 hingga 1956, kecuali sebagai menteri kabinet, dia adalah anggota parlemen Indonesia, bertugas mulai Maret 1947 hingga Agustus 1949 sebagai Wakil Ketua Badan Pekerja Parlemen Indonesia.

Studi Iskandar yang dibuat pada 1958 tersebut menjadi sebuah tonggak di Universitas Cornell Ithaca, New York, Amerika Serikat ketika salah satu perguruan tinggi ternama yang kemudian banyak melahirkan Indonesianist tersebut memang sedang intens mendalami masalah keindonesian melalui Modern Indonesia Project Southeast Asia Program, Department of Far Eastern Studies.

Mengenai hal ini, George Mc Turnan Kahin, direktur proyek tersebut (saat itu), mengatakan bahwa hanya di sedikit negeri di Asia tenaga kerja terorganisasi merupakan suatu faktor ekonomi dan politik sepenting di Indonesia dan hanya di beberapa negeri di dunia ia telah begitu dipolitisasikan.

Namun, menurut dia, sangat sedikit (hingga 1958) riset dan penulisan serius telah dilakukan mengenai serikat-serikat buruh di Indonesia.

“Sulit sekali mendapatkan seseorang yang lebih memenuhi syarat untuk melakukan studi seperti itu daripada Iskandar Tedjasukmana,” kata Kahin.

Kembali ke pergerakan buruh, konferensi buruh akhirnya melahirkan organisasi baru bernama Barisan Buruh Indonesia (BBI). Ia langsung bergerak untuk konsolidasi, terutama di Jawa meskipun tekanan Jepang masih kuat. Untuk luar Jawa cukup sulit dilakukan karena kendala komunikasi dan situasi genting.

Namun BBI dan gerakan buruh lainnya didukung penuh oleh Menteri Urusan Sosial dalam kabinet pertama Indonesia, yaitu Iwa Kusuma Sumantri. Atas restu Iwa pula kaum buruh dapat menggelar hajatan akbar pertama di awal kemerdekaan, yaitu Kongres Umum Kaum Buruh Industri dan Pertanian pada 7 November 1945.

Dari acara itu kemudian muncul aspirasi dari sebagian kaum buruh yang dimotori Sjamsu Harya Udaya (Komite Sentral Barisan Buruh Indonesia) untuk mengubah BBI menjadi partai politik dari kelas pekerja.

Usulan tersebut memicu perdebatan sengit. Jalan kompromi akhirnya ditempuh. BBI dipertahankan tetapi partai politik dibentuk dengan nama Partai Buruh Indonesia (PBI) dengan Sjamsu sebagai presiden sementara.

Pendeknya pada periode 1946-1947, serikat buruh bak jamur di musim hujan dan sempat menginduk pada dua federasi (Gabungan Serikat Buruh Indonesia dan Gabungan Serikat Buruh Vertikal) sebelumnya akhirnya berlabuh di organisasi yang sangat terkenal dan amat kental politiknya, yakni Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).

Pada September 1948 organisasi tersebut dituding terlibat dalam apa yang disebut Madiun Affair. SOBSI sempat limbung dan retak. Namun setahun kemudian ia mampu bangkit lagi.

“Sepanjang sejarahnya, gerakan serikat buruh Indonesia mengungkapkan watak politiknya. Serikat-serikat buruh menginginkan cita-cita politik,” kata Iskandar.

Itulah yang hari-hari ini menjelma dalam RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan. Politiknya terus menggema.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Inria Zulfikar
Editor : Inria Zulfikar

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper