Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengkritik cara pemerintah menyediakan pelatihan pada program Kartu Prakerja. Sebab, pemerintah menggunakan pendekatan konsumen sebagai raja dalam program ini.
"Lalu pemerintah tinggal bikin jaring besarnya, ini asumsi yang keliru," kata Ahmad dalam diskusi online Kemenko Perekonomian di Jakarta, Rabu, (29/4/2020).
Sebab, kata Ahmad, pemerintah telah menyiapkan sejumlah sektor prioritas dalam pengembangan industri 4.0. Lalu kini, di tengah pandemi Covid-19, pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat untuk memilih program pelatihan Kartu Prakerja.
Masyarakat, kata dia, tentu belum tentu tahu arah pengembangan ekonomi dan industri 4.0 yang dicanangkan pemerintah dalam beberapa tahun ke depan. "Jadi, ini kok asumsinya sesederhana ini?," kata Ahmad.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana (PMO) Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari menjelaskan pertimbangan di balik penyediaaan materi pelatihan Kartu Prakerja.
Menurut dia, target jumlah peserta program yang sebanyak 5,6 juta merupakan angka yang tidak kecil. Jutaan orang ini memiliki latar belakang pendidikan, preferensi, dan kebiasaan yang berbeda.
Baca Juga
Menurut Denni, pemerintah tidak memiliki penilaian tertentu untuk mengidentifikasi 5,6 juta peserta ini. Pemerintah mengambil keputusan untuk menyediakan materi pelatihan sebanyak mungkin, layaknya meja prasmanan yang berisi beragam pilihan lauk dan makanan.
“Dari yang ringan sampai yang berat, dari yang murah sampai yang mahal, intinya seperti itu,” ujar Denni.
Dalam sistem Kartu Prakerja saat ini, peserta bisa memilih sendiri sesuai kebutuhan. Tapi jika penilaian dilakukan oleh pemerintah sendiri, kata Denni, maka akan ada unsur subjektifitas. “Sebaiknya kami kan tidak jadi, dalam tanda kutip diktator, ini layak dan ini tidak layak,” ujarnya.
Denni pun menjamin, setiap program pelatihan akan dievaluasi. Salah satu bahan evaluasi adalah penilaian langsung dari peserta Kartu Prakerja usai pelatihan rampung. Selain itu, kata Denni, 233 lembaga pelatihan yang kini terlibat pun juga akan dikoreksi jika kinerjanya tidak memuaskan.