Bisnis.com, JAKARTA - Pakar epidemiologi menyebut status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berpotensi besar diperpanjang oleh pihak otoritas, baik di DKI Jakarta, bahkan Jabodetabek selaku episentrum Covid-19 di Indonesia.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun sempat mengungkap kemungkinan PSBB diperpanjang, karena masa 14 hari belum cukup untuk mengatasi Covid-19.
Utamanya, masih dibutuhkan kampanye kesadaran yang amat serius kepada masyarakat. Baik terkait aturan PSBB, maupun bahaya Covid-19 itu sendiri.
Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono mengungkap beberapa pertimbangan memperpanjang PSBB tampak masih dominan, apabila menilik keadaan Covid-19 di Indonesia.
Berikut setidaknya tiga alasan kenapa Jabodetabek, bahkan beberapa provinsi lain, masih akan membutuhkan status PSBB:
1. Puncak Pandemi Belum Tampak
Pria yang akrab disapa Miko ini menjelaskan bahwa salah satu keberhasilan PSBB terlihat dari melandainya jumlah orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), maupun pasien terkonfirmasi positif Covid-19.
Namun demikian, menilik data yang masih terus naik, bahkan secara nasional per Minggu (19/4/2020) jumlah kasus positif Covid-19 masih meningkat 327 orang sehingga menjadi 6.575 orang.
Sementara itu, jumlah ODP dan PDP masih terus naik lebih dari 2.000 setiap hari. Jumlah ODP mencapai 178.883 orang, meningkat 2.539 dari hari sebelumnya, adapun jumlah PDP 15.646 orang, meningkat 2.667 dari hari sebelumnya.
"Nah sekarang, kita bayangkan biar mudah, ODP kita sudah 100.000-an. Padahal kasus kita 6.000-an. Bayangkan, itu saja sudah tidak masuk akal. Kita harus memprediksi kira-kira 60 persen itu Covid-19, jadi kita harus siap mengatasi kasus positif ada 50.000 sampai 60.000," ujarnya kepada Bisnis, Senin (20/4/2020).
Terlebih, menurut Miko, memasuki hari besar seperti lebaran 2020 di mana pemerintah masih memperbolehkan adanya mudik, rasanya puncak peningkatan ODP, PDP, dan positif Covid-19 masih belum bisa melandai.
"Karena meningkat pesatnya pasti nanti lebaran. Rasanya masih tetap PSBB. Bahkan harus terus diperketat PSBB-nya," ungkap Miko.
Kapasitas Tes Belum Optimal
Seiring dengan jumlah ODP, PDP, dan kasus positif yang masih terus bertambah, kapasitas tes terkini harus sudah mengoptimalkan seluruh laboratorium yang ada di Indonesia.
"Satu hal. Kita kemampuan lab tidak ditingkatkan dari awal. Sebenarnya waktu PDP sudah 10.000 kemarin, itu seharusnya kapasitas laboratorium seperti [target] sekarang," ungkapnya.
Seperti diketahui, pemerintah akan menargetkan adanya 10.000 tes PCR setiap hari dengan mengaktifkan 78 laboratorium dari 32 laboratorium pengetesan spesimen Covid-19.
Terkini, dari 35 laboratorium yang aktif sebagai jejaring pengetesan sampel Covid-19, pemerintah mengaku sudah memeriksa hingga 47.000 sampel.
"Seolah-olah pemerintah baru sadar. Padahal peningkatan pengetesan seperti sekarang ini idealnya sudah ada sejak Februari 2020," tambahnya.
Skenario Terbaik Mundur
Menurut pria yang masuk ke tim ahli Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan Covid-19 nasional maupun daerah DKI Jakarta ini, skenario terbaik bisa terus mundur apabila kapasitas tes tidak meningkat signifikan.
"Semua model yang dikembangkan baik itu model matematik atau pun epidemiologi, April itu puncaknya. Tapi sepertinya belum tampak. Sekarang tinggal tes laboratoriumnya yang mesti mengejar supaya puncaknya bisa terlihat di akhir April ini," jelasnya.
Inilah yang membuat PSBB harus tetap digelar baik di Jabodetabek, maupun beberapa provinsi lain yang berpotensi memiliki banyak kasus positif Covid-19.
"Jadi akhir bulan April baru mau menyentuh sekitar 50.000. Mei akan meningkat sedemikian banyaknya. Perkiraannya di bulan Juli itu melandai, kemudian baru turun. Jadi kuncinya di kapasitas tes per hari. Kalau target pemerintah tidak tercapai dalam waktu dekat, tentu PSBB masih akan lama," tutupnya.