Bisnis.com, JAKARTA - Kepala Badan Geologi Rudy Suhendar menjelaskan mengenai erupsi Gunung Anak Krakatau serta informasi tambahan mengenai suara dentuman yang terdengar di area JABODETABEK.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Pos PGA Anak Krakatau, katanya, dari pemantauan menerus secara visual dan instrumental, disampaikan hal hal sebagai berikut:
Pertama, erupsi Anak Krakatau frekuensinya meningkat sejak sekitar pukul 22.00 WIB Jum'at (10/04/2020).
Kedua, citra satelit tidak merekam emisi gas magmatik SO2 yang signifikan, bahkan cenderung rendah ~0.013 Tg.
Ketiga, petugas Pos PGA Anak Krakatau yang bertugas 24 jam di Pasauran (~42 km dari G. Anak Krakatau) melaporkan tidak mendengar suara dentuman, hanya petir sesekali teramati di sekitar G. Anak Krakatau pada saat erupsi terjadi.
Keempat, peralatan infrasound merekam peningkatan amplitudo sinyal akustik sejak sekitar pukul 22-23 WIB.
Dari hasil pengamatan tersebut, lanjutnya, disimpulkan jika ancaman bahaya primer langsung erupsi Gunung Anak Krakatau bersifat lokal, lontaran batu atau lava hanya terlokalisir di tubuh gunungapi.
"Sangat kecil kemungkinan bahkan dapat diabaikan ancaman bahaya seperti ini sampai ke pulau Jawa atau Sumatera," demikian penjelasannya dikutip dari laman resmi PVMBG.
Dia juga menjelaskan suara dentuman tidak merefleksikan eksplosivitas erupsi, tidak juga dapat dijadikan indikator akan terjadinya erupsi besar, apalagi SO2 saat ini terekam rendah. Saat ini eksplosivitas erupsi G. Anak Krakatau terhitung masih relatif rendah dengan VEI =< 2
Selain itu, lanjutnya, ancaman bahaya sekunder berupa abu vulkanik jangkauannya dapat lebih jauh bergantung arah dan kecepatan angin. Untuk hal ini PVMBG sudah menerbitkan VONA dengan kode warna Orange.
"VONA sudah terintegrasi dengan sistem penerbangan sehingga follow up dari stakeholders penerbangan dapat dilakukan," tambahnya.
Dia juga menjelaskan masyarakat di Pulau Jawa dan Sumatera tidak perlu kuatir terdampak erupsi G. Anak Krakatau.