Bisnis.com, JAKARTA – Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) merekomendasikan pemberlakuan pembatasan sosial yang bersifat agresif untuk tekan laju persebaran virus Corona (Covid-19), utamanya di Provinsi DKI Jakarta.
Melalui paper berjudul “Urgensi Pemberlakuan Pembatasan Sosial Agresif untuk Mengurangi Kematian dan Beban Penanganan Pasien di RS akibat COVID-19: Sudut Pandang Kesehatan Masyarakat”, CISDI menyampaikan urgensi penerapan strategi “tekan habis” atau suppression strategy.
Langkah ini dinilai efektif sebagai upaya menekan gelombang infeksi kedua akibat penerapan himbauan pembatasan sosial yang tidak efektif. Pandemi virus Corona, khususnya di DKI Jakarta, sudah memasuki fase penyebaran komunitas atau community transmission sehingga sumber penularan sulit dilacak.
Situasi ini memmengaruhi laju persebaran di beberapa daerah penyangga di sekitar Jakarta. Hal ini terbukti dengan jumlah pasien positif virus Corona di Jawa Barat dan Banten yang saat ini menjadi provinsi dengan kasus kedua dan ketiga terbanyak setelah Jakarta.
Diah Saminarsih, Ketua Dewan Pembina CISDI, menekankan bahwa kesehatan populasi dan menyelamatkan hidup banyak orang hendaknya menjadi prioritas utama dalam menentukan prioritas nasional pada keadaan pandemi.
“Tanpa ada ketegasan aturan atau mekanisme insentif/disinsentif, pembatasan sosial ini sangat sulit diterapkan karena berseberangan dengan budaya masyarakat Indonesia yang kolektif,” ujar Diah dikutip Sabtu (28/3/2020).
Secara ilmiah, virus Corona ini bermutasi dengan sangat cepat sehingga laju penularannya meningkat secara eksponensial. Kenyataan ini, menurut Diah, belum banyak dipahami masyarakat. Ada sejumlah alasan mengapa pemahaman seputar virus Corona juga sulit diterima masyarakat.
Pertama, karena kondisi geografis Indonesia yang luas. Kedua, tingkat pemahaman yang berbeda-beda karena komunikasi risiko yang belum menyeluruh. Ketiga, lemahnya transparansi informasi dari pemerintah pusat ke masyarakat.
Diah pun tak menampik bahwa sistem kesehatan nasional belum memiliki ketangguhan dan kesiapan menghadapi wabah ini secara masif.
Hal ini terlihat dengan lonjakan pasien pada banyak rumah sakit, rujukan maupun non rujukan; banyaknya penularan terjadi pada tenaga kesehatan karena kurangnya fasilitas screening bagi kelompok berisiko; serta keterbatasan otoritas fasilitas kesehatan dalam mengomunikasikan status positif pasien.
“Dalam situasi darurat kesehatan, pelibatan seluruh lapisan masyarakat berperan penting dalam menentukan keberhasilan intervensi kesehatan. Pandemi ini memiliki dampak yang fatal bagi kualitas hidup manusia Indonesia,” tuturnya.
Dengan keberpihakan pemerintah pada kesehatan masyarakat dan melakukan langkah komprehensif untuk menekan laju persebaran, maka dampak pada sektor ekonomi-sosial-politik akan terselesaikan. Yurdhina Meilissa, Chief Strategist CISDI juga merekomendasikan strategi tekan habis harus diimbangi dengan empat hal.
Pertama, peningkatan kapasitas pemerintah untuk Implementasi International Health Regulation (IHR) 2005. Adapun IHR 2005 merupakan seperangkat daftar kebutuhan yang ditetapkan oleh WHO dalam menilai kesiapan sebuah negara menghadapi situasi penyakit menular.
Saat ini, Indonesia perlu memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah dalam mengoordinasikan pengendalian di level subnasional; meningkatkan fungsi pengawasan kesehatan masyarakat khususnya terkait analisa data untuk surveilans secara real-time dan interoperable; serta memastikan keberadaan entitas untuk berkomunikasi dan meningkatkan kesadaran akan bahaya.
Kedua, peningkatan kapasitas layanan kesehatan sekunder. Meskipun pemerintah sudah menetapkan 132 rumah sakit rujukan, namun temuan di RSUD DKI Jakarta mengindikasikan pertumbuhan kasus yang melampaui batas.
Pemerintah perlu segera menetapkan standar pelayanan medis minimal virus Corona untuk mengaktivasi rumah sakit non-rujukan dan swasta serta membuka data kesiapan layanan yang memungkinkan masyarakat menyalurkan hibah tepat sasaran.
Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan keberadaan mekanisme screening kepada tenaga kesehatan sebagai kelompok berisiko tinggi, serta membuka kesempatan masyarakat untuk melakukan crowdsourcing data untuk memetakan kapasitas layanan medis.
Ketiga, peningkatan kapasitas layanan kesehatan primer. Puskesmas memiliki kapasitas pelacakan kasus sebagai bagian dari tugas pokok. Oleh sebab itu, keberadaan lebih dari 10.000 Puskesmas di seluruh Indonesia dapat diaktivasi untuk berperan sebagai fasilitas rujukan skala kecamatan, pengelola pasien Covid-19 dengan gejala ringan, serta petugas yang rutin melakukan screening dan penangan kasus positif.
Keempat, peningkatan keterlibatan masyarakat sipil dan komunitas. Aktivasi peran RT, RW, Desa dalam meneruskan pesan-pesan komunikasi publik dan komunikasi risiko sangat penting untuk melakukan upaya kontrol sosial dalam unit masyarakat yang lebih kecil. CISDI menilai pihak RT/RW/Desa Siaga dapat membantu memastikan tersedianya penanganan medis dan logistik.