Bisnis.com, JAKARTA - Seiring dengan meningkatnya jumlah pasien Covid-19, media sosial kian ramai dengan ungkapan apresiasi dan bantuan sosial bagi semua tenaga medis di Indonesia.
Maklum saja, kesimpangsiuran informasi menebarkan sikap pengabaian hingga ketakutan di lapisan masyarakat berpotensi membuat pandemi semakin tumbuh subur.
Berdasarkan penelusuran Bisnis.com, sejumlah tulisan sampai grafis menghiasi media sosial untuk mendukung tenaga medis dalam kurun satu pekan terakhir. Sejumlah dukungan yang diberikan untuk membantu tenaga medis adalah mengimbau masyarakat untuk melakukan karantina pribadi jika merasa kurang sehat.
Sejumlah netizen juga mengimbau pemerintah lebih tegas dan cepat melakukan lockdown. Sejumlah asosiasi tenaga kesehatan yang merasakan krisis ini bahkan mulai menyerukan desakan ke pemerintah untuk menjamin hak kesehatan tim medis melalui Amnesty International.
Konsultan kesehatan masyarakat dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Nurul Nadia mengakui kasus Covid-19 di Indonesia memang cenderung lama diantisipasi karena baru terdeteksi pada awal Maret 2020. Imbasnya, di Indonesia terjadi peningkatan tiga kali lipat jumlah pasien dalam 8 hari ketimbang di China yang peningkatannya tiga kali lipat setelah 14 hari.
Hal ini menandakan, kasus Covid-19 di Indonesia sudah bukan imported transmission case atau riwayat dari luar negeri, tetapi local transmission dan community transmission. Oleh sebab itu, Nurul meminta pemerintah harus menyiapkan komponen sistem kesehatan dan Pemda juga harus siap menghadapi lonjakan pasien bulan depan.
“Kementerian Kesehatan sudah ada pedoman kesiapsiagaan sejak Januari, tapi mungkin implementasi masih banyak masalah,” terang Nurul beberapa waktu yang lalu.
Dia pun menegaskan, pemerintah memiliki waktu yang sangat sedikit sehingga harus terintegrasi memastikan kesiapan rumah sakit, puskesmas, sumber daya manusia, dan fasilitas kesehatan di daerah. Persiapan paling utama juga berkaitan dengan ketersediaan ruang isolasi. Hal ini mengingat tak semua rumah sakit sekalipun punya ruang isolasi, berkemampuan mengkondisikan isolasi ruangan bertegangan negatif.
KOMUNIKASI DAN SOSIALISASI KEBIJAKAN
Nurul menjelaskan negara dengan sistem pelayanan yang siap saja masih mencatatkan angka kematian Covid-19 kurang dari 1 persen. Sementara, negara yang tidak siap, tingkat kematiannya mencapai 3,6 persen, dan rata-rata global 4,07 persen. Adapun rasio angka kematian di Indonesia sudah menempati posisi tertinggi di dunia.
Pencatatan persentase ini masih bisa diteliti dari sisi populasi masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah milenial. Dengan demikian, pemerintah tentu membutuhkan strategi yang berbeda jika dibandingkan dengan profil penduduk di negara lain dalam penanganan Covid-19.
Ambil saja contoh di Italia, kasus kematian yang tinggi akibat Covid-19 disebabkan oleh tingginya pula angka lansia di negara tersebut disertai gangguan sistem imun yang menambah risiko kematian. Sebaliknya, profil penduduk Indonesia mirip dengan Korea Selatan yakni penduduk mayoritas berusia muda. Maka pemerintah wajib mengevaluasi kebijakan sosial dan komunikasi mengatasi Covid-19 sesuai persebaran dan karakteristik penduduk.
“Data ini penting, karena Indonesia lebih banyak milenial yang usia produktif, sering aktivitas dengan mobilitas tinggi harusnya membuat kebijakan pembatasan sosial tegas supaya tak semakin cepat penularannya,” terang Nurul.
Nurul menilai, opsi lockdown yang ramai digaungkan netizen punya kelemahan interpretasi bagi masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mempertegas terminologi dan maksud kebijakan memutus rantai Covid-19 perihal lockdown ataupun social distancing alias pembatasan sosial tak sebatas imbauan.
Dia menggarisbawahi selain kegiatan sekolah dan bekerja, penting bagi pemerintah memberi penegasan terkait pembatasan interaksi di rumah ibadah mencontoh Arab Saudi ataupun Vatikan. Nurul menyebut, rumah ibadah adalah ruang publik yang paling ramai dengan potensi penularan yang tinggi. Oleh sebab itu dibutuhkan ketegasan dari pemerintah dalam kebijakan guna meringankan beban tenaga medis.
Dalam situasi krisis, Nurul pun meminta pemangku kebijakan untuk mengambil opsi melakukan surveillance atau tes yang cukup banyak. Tes ini dilanjutkan dengan mengumpulkan data dari temuan kasus, menganalisis dan menginterpretasi secara sistematis dan berkelanjutan terhadap orang yang terpapar virus Covid-19 supaya bisa mencerminkan jumlah penyebaran yang ada di masyarakat.
“Saat ini, memang karena jumlah laboratoriumnya sangat sedikit, jadi surveillance nya bisa dikatakan tidak mewakili keadaan yang ada di masyarakat saat ini,” jelas Nadia.
Surveillance bisa dilakukan dengan dua cara, yakni dengan contoh acak di masyarakat atau tes masif alias rapid test seperti arahan Presiden Jokowi. Langkah tes masif merupakan cara yang sama dilakukan Korea Selatan. Strategi ini diakui Nurul terbukti efektif menurunkan jumlah orang tertular.