Bisnis.com, JAKARTA – Kasus virus corona baru atau Covid-19 di Indonesia terus bertambah setiap hari. Tren kasus yang meningkat membuat panik warga.Pasalnya, penularan virus corona Covid-19 bukan lagi dari orang yang datang dari pusat wabah seperti China, Korea Selatan, Italia atau Iran.
Kini, terjadi penularan Covid-19 di tingkat lokal. Artinya, penularan antarorang yang tidak pernah ke luar negeri, atau tidak pernah kontak dengan pasien virus corona Covid-19.
Ini berarti, telah terjadi penularan dari orang yang terinfeksi Covid-19, tetapi tidak menunjukkan gejala sakit. Mereka ini disebut kelompok pembawa virus (carrier). Inilah yang mengkhawatirkan!
Berdasarkan keterangan Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Achmad Yurianto pada Kamis (19/3/2020) di Graha BNPB, Jakarta, bahwa tingkat kematian pasien virus corona di Indonesia 8 persen.
Adapun total kasus per kemarin 309 orang. Penambahan kasus tertinggi terjadi di wilayah DKI Jakarta dengan 52 kasus baru, sedangkan jumlah pasien sembuh 15 dan meninggal dunia 25.
Meningkatnya kasus dan sebaran virus corona memunculkan kekhawatiran di tengah masyarakat, apakah tertular atau tidak virus corona. Maka, pemerintah pun berencana melakukan screening secara massal, sehingga membantu dalam penanganan potensi penyebaran Covid-19.
Yurianto menyebut bahwa screening massal dengan metode imunoglobulin atau pengukuran antibodi di dalam sampel darah ini juga dilakukan oleh banyak negara terdampak virus corona.
Kepala Balitbangkes Kementerian Kesehatan Siswanto (kiri) bersama Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Kementerian Kesehatan Vivi Setiawaty (kanan) mengenakan pakaian steril saat akan memasuki Labotarium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) di Jakarta, Selasa (11/2/2020)/Antara
Untuk keperluan itu, perusahaan BUMN, PT RNI (Persero) akan mendatangkan alat uji corona atau rapid test Covid 19 dari China. Dengan alat ini, maka orang yang terpapar corona bisa diketahui secara cepat.
"RNI lagi kerja sama dengan China itu mau produksi rapid test Covid 19. Rapid test corona kerja sama dengan pabrik China," kata Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga dalam teleconference di Jakarta Rabu (18/3/2020).
Arya mengatakan perusahaan itu memesan 500 ribu unit. Namun, untuk mendatangkan alat ini perlu izin Kementerian Kesehatan.
WHO Rekomendasi PCR
Bila ditelusuri panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), deteksi atau uji virus corona Covid-19, yang disarankan adalah real-time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dilanjutkan sequencing untuk mengonfirmasi diagnosis infeksi Covid-19.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKlin) Profesor Dr dr Aryati MS SpPK(K) dalam penyataan tertulisnya, Kamis (19/3/2020), menegaskan bahwa ukuran tingkat kepercayaan (confidence level) untuk deteksi berbagai patogen secara berturut-turut adalah yang tertinggi kultur, molekular (DNA atau RNA), antigen, dan yang terendah antibodi (IgMG/IgG/IgA antipatogen tersebut).
Sebagai informasi, antigen merupakan zat yang merangsang respons imunitas, terutama dalam menghasilkan antibodi.
Antibodi yang dihasilkan berupa zat molekul besar seperti protein dan polisakarida, contohnya permukaan bakteri. Antigen dapat berupa bakteri, virus, protein, karbohidrat, sel-sel kanker, atau racun.
Untuk SARS-Cov-2 penyebab Covid-19, confidence level tertinggi saat ini adalah pemeriksaan molekuler yaitu real-time PCR yang dilanjutkan dengan sequencing yang telah dilakukan di Balitbangkes Jakarta, karena kultur virus SARS-CoV-2 saat ini belum dapat dilakukan.
Nah, rapid test yang akan digelar massal untuk memeriksa kita adalah berbasis pengukuran antibodi dengan mengambil sampel darah seseorang.
Cobas 8800, alat deteksi virus corona produksi perusahaan farmasi Roche - Twitter@KEMRI/Kenya
3 Hal Perlu Dipertimbangkan
PDS PatKlin pun mengingatkan kewaspadaan tes cepat Covid-19 IgM/IgG SARS-CoV-2 untuk deteksi Covid-19 dengan berbagai merk yang ada saat ini.
Aryati mengingatkan, ada 3 hal yang perlu dipertimbangkan sebelum mendeteksi SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 dengan metode rapid test.
Pertama, deteksi antibodi terhadap SARS-CoV-2 dengan metode imunokromatografi (rapid test) belum ada penjelasan kinetika antibodinya.
Antibodi baru terbentuk beberapa waktu setelah masuknya virus ke dalam tubuh, yang tentunya membutuhkan waktu, namun waktu terbentuknya antibodi belum disebutkan secara jelas pada beberapa referensi.
Hingga saat ini, katanya, ada satu publikasi yang menyatakan antibodi baru mulai terdeteksi dengan metode imunofluoresensi paling dini hari ke-6, namun sebagian besar antara hari ke 8—12 sejak timbulnya gejala.
Kedua, antibodi terhadap SARS-CoV-2 belum terbukti dapat menentukan infeksi akut saat ini, sehingga belum direkomendasikan untuk diagnostik.
Sebagai contoh infeksi dengue (DBD) dikatakan sebagai infeksi akut, apabila terjadi peningkatan titer 4 kali dengan metode Hemaagglutination Inhibition pada serum akut dan konvalesen, atau pada antibodi Treponemal pallidum (sifilis) yang hanya dapat menunjukkan paparan, sehingga tidak bisa menentukan infeksi akut atau lampau.
Sementara, IgG anti-Rubella bersifat protektif, sehingga masih perlu pendalaman kinetika antibodi terhadap SARS-CoV-2 lebih lanjut.
Ketiga, berbagai rapid test tersebut belum diketahui validitasnya, antigen, dan prinsip pemeriksaan yang digunakan, variasi waktu pengambilan spesimen, limit deteksi masing-masing rapid test, interferens, berbagai kondisi yang dapat menyebabkan hasil false positive dan false negative, serta belum diketahui adanya izin edar resmi.
“Apabila untuk skrining (deteksi dini) harus diinterpretasi dengan sangat hati-hati, karena karena hasil positif tidak bisa memastikan bahwa betul terinfeksi Covid-19 saat ini, sedangkan hasil negatif tidak bisa menyingkirkan adanya infeksi Covid-19 sehingga tetap berpotensi menularkan pada orang lain,” jelas Aryati.
Maka, false positive dan false negative patut dipertimbangkan untuk deteksi antibodi karena validitas yang belum diketahui (sensitivitas dan spesifitas diagnostik yang bervariasi) sehingga menyulitkan interpretasi.
Untuk mengatasi hal ini, Yuri memang mengatakan apabila seseorang dinyatakan positif, individu yang telah melakukan screening melalui rapid test akan diuji ulang dengan metode tes polymerase chain reaction (PCR) yang jauh lebih akurat.