Bisnis.com,JAKARTA — Penutupan akses keluar masuk suatu wilayah (lockdown) harus dilakukan lebih hati-hati karena banyak hal yang harus dipersiapkan dengan baik dan diputuskan oleh pemerintah pusat.
Pengamat intelijen, Stanislaus Riyanta mengatakan bahwa lockdown sebenarnya merujuk pada karantina kesehatan yang diatur oleh UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.
Menurutnya, untuk melakukan karantina kesehatan, maka sesuai dengan UU No. 6 Tahun 2018, harus dilakukan penentuan status darurat kesehatan nasional oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini adalah Presiden kemudian diikuti dengan pembentukan satuan tugas untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi sebuah wabah penyakit.
"Dalam undang-undang tersebut karantina kesehatan terdiri dari berbagai macam, yaitu Karantina Rumah, Karantina Wilayah dan Karantina Rumah Sakit. Selain itu juga ada tindakan yang disebut Pembatasan Sosial," ujarnya, Senin (16 /3/2020).
Menurutnya, usulan untuk dilakukan lockdown dalam arti penguncian suatu wilayah, dengan penjagaan ketat supaya tidak ada yang keluar masuk wilayah tersebut terlalu berlebihan untuk penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Jika lockdown dilakukan maka menurutnya yang terjadi adalah kekacauan yang bisa menjurus kepada konflik sosial.
Lockdown yang dilakukan di negara-negara maju seperti yang terjadi di Italia dan Arab Saudi, tuturnya, tidak bisa serta merta ditiru untuk Indonesia. Pasalnya, masyarakat di negara maju dengan budaya disiplin yang tinggi dan kesejahteraan yang baik tidak akan terganggu kehidupan dasarnya jika dilakukan lockdown.
"Situasi di Indonesia berbeda dengan negara maju. Jumlah pekerja informal masih dominan dibandingkan pekerja formal. Badan Pusat Statistik mencatat, sektor informal mendominasi pekerjaan di Indonesia. Pada Februari 2019, tercatat penduduk yang berusia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor informal sebanyak 74 juta jiwa. Sementara penduduk yang bekerja di sektor formal hanya 55,3 juta jiwa. Jika pemerintah melakukan lockdown maka dapat dibayangkan yang terjadi adalah sebagian besar orang kehilangan pendapatan dan tidak bisa mengakses kebutuhan dasarnya," bebernya.
Dia melihat situasi di Indonesia saat ini belum memiliki budaya disiplin yang kuat dan tingkat kesejahteraannya juga belum baik. Hal tersebut akan menjadi masalah jika dilakukan lockdown.
"Masyarakat yang bekerja secara informal akan kehilangan pendapatan dan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Jika hal itu terjadi maka potensi terjadinya kriminalitas cukup tinggi," ucapnya.
Karena itu, jika ingin membatasi pergerakan orang secara ekstrem maka yang harus dilakukan adalah pemerintah menyiapkan kebutuhan dasar utama kepada masyarakat yang bekerja di sektor informal. Tujuannya adalah supaya mereka tidak perlu beraktivitas untuk mencari pendapatan. Jika aktivitas masyarakat dikunci tanpa adanya suplai kebutuhan dasar maka bisa memicu suatu gerakan perlawanan yang dampaknya bisa sistemik.
Selain itu, jika lockdown dilakukan di Ibu Kota Negara DKI Jakarta, dampaknya juga akan sangat sistemik. Putaran uang Indonesia yang sebagian besar berada di Jakarta akan terganggu, dan tentu saja imbasnya terjadi kepada perekonomian nasional. Lockdown justru akan memperburuk situasi saat ini.
"Lockdown bukan strategi yang tepat saat ini, karena akan memperburuk situasi sosial masyarakat. Strategi yang tepat adalah pembatasan sosial pada tingkat tertentu sesuai karakteristik wilayah masing-masing tanpa berlawanan dengan kebijakan pemerintah pusat. Tentu saja hal tersebut dapat sukses jika ada peran serta masyarakat yang mau taat dan disiplin dalam menjalankan arahan pemerintah," pungkasnya.