Bisnis.com, JAKARTA - Program pendidikan arsitektur masih menjadi primadona bagi pelajar SMA/SMK yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Persaingan memperebutkan kursi di program studi tersebut, terutama di perguruan tinggi negeri (PTN) bisa dikatakan cukup sengit.
Tercermin dari ambang batas nilai Ujian Tertulis Berbasis Komputer (UTBK) dan passing grade untuk jurusan/prodi arsitektur di sejumlah PTN favorit pada Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Sebagai contoh, rerata nilai UTBK pelajar yang berhasil lolos ke Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung melalui SBMPTN 2019 adalah sebesar 693,39 dengan passing grade 664,64.
Jurusan/program studi yang hadir di Indonesia pada 1950 melalui Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) Bandung yang sekarang berubah menjadi ITB—itu dianggap memberikan prospek cerah bagi lulusannya. Hal tersebut diamini oleh Ketua Asosiasi Pendidikan Tinggi Arsitektur Indonesia (Aptari) Yandi Andri Yatmo.
Menurut Yandi, masifnya pembangunan di berbagai daerah ikut andil membuat prospek lulusan arsitektur menjadi lebih cerah. Selain itu, seiring dengan perkembangan zaman muncul profesi-profesi baru yang membutuhkan SDM dengan latar belakang pendidikan arsitektur.
“Tidak hanya seperti dahulu yang hanya dikenal profesi arsitek saja. Sekarang sudah mulai dikenal varian profesi dengan latar belakang pengetahuan desain atau pengetahuan yang kaitannya dengan arsitektur. Seumpamanya bisa saja lulusan arsitektur bekerja sama menangani manajemen konstruksi atau menjadi spesialis seperti ekologi, sustainability, dan masih banyak lagi,” katanya kepada Bisnis.com.
Selain itu, Yandi menjelaskan bahwa profesi berlatar belakang pendidikan arsitektur juga belum bisa digantikan oleh robot atau kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Dia menilai profesi tersebut erat kaitannya dengan unsur humanis meliputi berbagai aspek, termasuk sosial dan budaya yang sepenuhnya membutuhkan sentuhan manusia.
“Sangat bisa bertahan karena kita mementingkan rasa, budaya manusia itu salah satunya, mungkin mengalami perubahan. Tetapi itu tidak dapat dengan mudah direplikasi secara algoritma atau hitung-hitungan komputer. Selain itu juga profesi arsitek atau yang terkait saya melihatnya sangat terbuka dengan perkembangan zaman,” tuturnya.
Kemudian, Yandi juga meyakini bahwa lulusan arsitektur dari dalam negeri bisa bersaing dengan dengan lulusan dari luar negeri. Menurutnya, lulusan dari dalam negeri memiliki kelebihan dari sisi pengetahuan akan lingkungan tropis serta keragaman budaya dari berbagai daerah yang bisa menjadi inspirasi saat mendesain suatu bangunan. Demikian halnya dengan kemampuan menuangkan idenya menjadi sebuah desain lewat guratan tangan.
“Sebagai contoh, untuk desain bangunan bernuansa etnik itu tidak bisa sepenuhnya menggunakan komputer, karena pola-polanya mungkin ada yang tidak tersedia. Kemampuan menggambar pola-pola etnik itu dengan tangan yang mungkin juga tak dimiliki oleh mereka lulusan luar negeri,” ungkapnya.
Oleh karena itu, dirinya tidak mengkhawatirkan kehadiran arsitek-arsitek asing di Tanah Air yang diketahui menggarap sejumlah proyek prestisius di berbagai daerah.
Di sisi lain, Yandi tak menampik bahwa masih banyak pekerjaan rumah untuk sebagian besar kampus dengan jurusan/prodi arsitektur di Tanah Air, baik PTN maupun perguruan tinggi swasta (PTS) agar lulusannya memiliki daya saing tinggi di kancah internasional.
Contoh rumah yang dibangun oleh arsitektur asal Indonesia./bisnis.com
Maka dari itu, dirinya mendorong agar 129 kampus anggota Aptari meningkatkan kerja sama dengan berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri. Pihak yang dimaksud tentu tidak hanya sesama institusi pendidikan saja, tetapi industri berkaitan erat dengan arsitektur.
“Kerja sama itu untuk benchmarking satu sama lain, kemudian untuk mencari peluang-peluang baru, terutama dengan industri. Karena mereka selaku praktisi yang paling tahu kondisi di lapangan seperti apa dan bisa mendukung pengembangan disiplin ilmu arsitektur ingin dibawa kemana kedepannya,” ujarnya.
Yandi menambahkan kerja sama dengan industri juga membuka peluang masuknya tenaga pengajar atau dosen arsitektur dengan latar belakang praktisi yang jumlahnya masih sedikit di Indonesia. Keberadaan dosen berlatar belakang praktisi dibutuhkan untuk menyajikan contoh nyata kondisi di lapangan kepada mahasiswa.
“Dosen dari kalangan praktisi arsitektur ini akan ditambah untuk melengkapi dosen dari kalangan akademisi. Keduanya itu sama-sama dibutuhkan dan saling melengkapi, punya keunggulan masing-masing,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Laboratorium Urban Rural Design and Conservation (URDC) Prodi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta Kusumaningdyah Nurul Handayani mengatakan bahwa pihaknya tengah menyiapkan pembukaan Program Pendidikan Profesi Arsitek (PPArs) pada 2021. Upaya tersebut dilakukan untuk menyiapkan lulusan Prodi Arsitektur UNS yang siap terjun ke dunia industri dan diharapkan pula mampu membuka lapangan kerja sama baru bermodalkan jiwa entrepreneurship dan kemandirian tinggi yang lahir dari proses belajar di kampus.
Kusumaningdyah juga menyebut jumlah lulusan Prodi Arsitektur UNS yang berprofesi sebagai arsitek belum sebanyak lulusan dari perguruan tinggi lainnya di Tanah Air yang sudah terlebih dahulu membuka Program PPArs.
“Pembukaan PPARs yang diselenggarakan selama dua semester dengan permagangan profesi [dilakukan] untuk menyempurnakan kurikulum sekolah arsitek. Program Sarjana Arsitek selama delapan semester akan ditambah dengan PP Ars selama dua semester sehingga menjadi total 10 semester,” katanya kepada Bisnis.com.
Akreditasi dan Kerja Sama Internasional
Kemudian, menurut Kusumaningdyah pembukaan Program PPARs merupakan salah satu upaya Prodi Arsitektur UNS untuk mendapatkan akreditasi internasional dari Korea Architectural Accrediting Board (KAAB) di bawah Canberra Accord on Architectural pada 2022. Dia menyebut syarat utama bagi Prodi Arsitektur untuk mendapatkan akreditasi tersebut adalah memiliki Program PPARs.
“Syarat utama untuk mendapatkan akreditasi itu adalah keberadaan Program PPARs. Kami sudah menyiapkan task force team untuk membantu proses akreditasi itu juga,” ungkapnya.
Kusumaningdyah menambahkan untuk mendapatkan akreditasi tersebut pihaknya juga terus menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, tak terkecuali industri terkait. Upaya tersebut dilakukan dalam rangka memberikan gambaran atau pengalaman langsung kepada mahasiswa bagaimana seluk-beluk profesi yang berkaitan dengan dunia arsitektur.
“Tentunya untuk keperluan permagangan juga, tetapi yang tak kalah penting adalah membuat mahasiswa benar-benar mempunyai rasa atau six sense-nya digunakan saat mendesain suatu bangunan. Hal itu contohnya bisa didapatkan dengan kunjungan ke perusahaan-perusahaan tertentu atau mengunjungi bangunan dengan arsitektur yang unik,” imbuhnya.
Adapun, belum lama ini Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan (FTSP) Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta kembali mendapatkan akreditasi internasional yang tengah dikejar oleh Prodi Arsitektur UNS dengan status akreditasi penuh selama enam tahun untuk periode 2020-2026.
Menurut Ketua Jurusan Arsitektur FTSP UII Noor Cholis Idham akreditasi yang sudah diakui oleh Perserikatan Arsitek Dunia (Union internationale des architects/UIA) itu pertama kali didapatkan oleh Jurusan Arsitektur UII pada 2017. Selain melalui implementasi kurikulum berstandar internasional, akreditasi tersebut juga didapatkan berkat kelengkapan fasilitas penunjang, salah satunya adalah studio arsitektur yang buka 24 jam dan tujuh hari dalam sepekan.
Saat ini hanya ada tiga kampus di Indonesia yang mendapatkan akreditasi internasional untuk jurusan/program studi arsitektur, antara lain ITB pada 2016, UII pada 2017, dan UGM pada 2020. Hal tersebut yang akhirnya membuat Indonesia belum bisa mendirikan Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) arsitektur.
Pasalnya, syarat utama pendirian LAM arsitektur di suatu negara adalah paling sedikit ada lima kampus yang memiliki akreditasi internasional untuk jurusan/program studi arsitektur.
Di sisi lain, SAPPK ITB belum lama ini juga menjalin kerja sama dengan Monash University, Australia di bidang pendidikan dan penelitian khususnya yang terkait dengan perencanaan. Kerja sama tersebut berangkat dari rencana Monash University mendirikan kampus di Jakarta usai mendapatkan persetujuan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada bulan lalu.
Sekretaris ITB Widjaja Martokusumo mengatakan pihaknya selalu membuka diri kepada pihak-pihak yang ingin bekerja sama dengan baik dari dalam maupun luar negeri untuk mendukung arah Kampus Ganesha sebagai Entrepreneurial University dengan tiga indikator kunci, antara lain excellent in teaching and learning, excellent in research, dan excellent in innovation and enteprenurial.
Adapun, sebelumnya SAPPK ITB diketahui bekerja sama dengan Universitas Pelita Harapan (UPH) lewat Workshop Drone Photogrammetry and 3D Scanning yang diikuti oleh 60 mahasiswa UPH dan 13 mahasiswa ITB.
Menurut Ketua Prodi Arsitektur UPH Alvar Mensana kegiatan tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswanya mengeksplorasi Digital Architecture dalam rangka merespon kemajuan teknologi khususnya dalam 3D Mapping & Spatial Data Analysis.