Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tren Aklamasi, Konsolidasi Parpol dan Oligarki Politik

Pemilihan ketua umum (ketum) partai politik secara aklamasi menjadi sebuah tren belakangan ini. Informasi paling mutakhir adalah pemilihan ketum Partai Golongan Karya melalui Musyawarah Nasional X yang dibuka Presiden Joko Widodo, pada Desember 2019.
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri saat berpidato dalam acara pembukaan Kongres Nasional V PDI Perjuangan di Denpasar Bali, Kamis (8/8/2019)/Istimewa
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri saat berpidato dalam acara pembukaan Kongres Nasional V PDI Perjuangan di Denpasar Bali, Kamis (8/8/2019)/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Pemilihan ketua umum (ketum) partai politik secara aklamasi menjadi sebuah tren belakangan ini. Informasi paling mutakhir adalah pemilihan ketum Partai Golongan Karya melalui Musyawarah Nasional X yang dibuka Presiden Joko Widodo, pada Desember 2019.

Petahana yang juga Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto terpilih sebagai ketum partai berlambang pohon beringin itu untuk masa bakti 2024-2029 melalui aklamasi.

Mulusnya jalan Airlangga menuju Golkar 1 tidak terlepas dari sikap legawa Bambang Soesatyo yang mengundurkan diri dari pencalonannya sebagai ketua umum dengan alasan demi keutuhan partai.

Tidak hanya Golkar yang mengantarkan Airlangga sebagai ketua umum Golkar melalui proses aklamasi, sejumlah parpol sebelumnya juga tercatat melakukan hal yang sama.

Sebut saja Ketum Partai Nasional Demokrat Surya Paloh, Ketum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, hingga Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) yang dipilih melalui mekanisme pencalonan tunggal alias aklamasi.

Pada 12 Feburari 2020, Partai Amanat Nasional (PAN) juga akan menggelar kongres untuk memilih nakhoda baru partai berlambang matahari tersebut. Tiga kandidat sudah muncul, tapi sang petahana Zukifli Hasan kembali maju menghadapi penantang Asman Abnur dan Mulfachri Harahap.

Tentu yang ditunggu adalah apakah PAN yang sering mengklaim diri sebagai partai reformasi itu akan ikut menentukan pemimpinnya melalui proses aklamasi atau bukan.

Selama ini partai yang didirikan Amien Rais itu belum pernah menentukan ketua umumnya melalui proses aklamasi kecuali ada sejarah baru pada Februari mendatang.

Tren Aklamasi, Konsolidasi Parpol dan Oligarki Politik

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (tengah) berfoto bersama dengan Ketua Majelis Kehormatan Amien Rais (kiri), Politisi PAN Hanafi Rais (kedua kiri), Asman Abnur (kanan) dan Mulfachri Harahap (kedua kanan) saat hadir pada acara Rakernas V PAN di Jakarta, Sabtu (7/12/2019). Rakernas V tersebut membahas pelaksanaan Kongres PAN./Antara

Aklamasi dan Oligarki Politik

Memang, tidak ada yang salah dengan aklamasi seperti diakui Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia dari Fraksi Golkar.

"Jangan juga salah kita menafsirkan kata aklamasi. Aklamasi itu adalah hasil akhir ketika sebuah kompetisi politik memunculkan cuma satu yang muncul sebagai calon dan ditetapkan sebagai yang terpilih," ujarnya.

Dia secara terbuka mendukung proses pemilihan yang menjadi tren tersebut saat menjelang munas. Sedangkan, Bambang Soesatyo berpendapat ada kencenderung parpol trauma dengan perpecahan yang membuat suara pemilih anjlok pada pemilu lalu. Karena itu, parpol tidak ingin mengambil risiko keterbelahan pendukung yang membuat parpol tereliminasi dari parlemen karena tidak mampu memenuhi persyaratan ambang batas.

Salah satu korban perpecahan adalah Partai Hanura yang tidak saja kehilangan kursi di Senayan, tapi juga di DKI Jakarta. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sempat terpecah menjadi dua kepempinan antara hasil Munas Surabaya dan Munas Ancol juga nyaris tersingkir dari parlemen.

Hanya saja, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai pemilihan ketum parpol secara aklamasi menandakan proses demokratisasi dan kaderisasi di internal partai tidak berjalan.

"Tidak ada atau ‘tidak boleh’ calon lain muncul menandakan bahwa partai sudah seperti perseroan terbatas (PT) yang sahamnya dimiliki oleh satu orang atau kelompok orang.

Sebagai catatan Italia pernah menggunakan sistem ini melalui partai Forza Italia yang membuat demokrasi mati suri akibat kuatnya pemodal menguasai dunia politik.

Dengan membiayai sendiri partainya seperti sebuah perusahaan, Forza Italia berhasil menempatkan pemimpinnya, Silvio Berslusconi  menjadi Perdana Menteri terlama dalam sejarah negara itu.

Tren Aklamasi, Konsolidasi Parpol dan Oligarki Politik

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto memberikan pidato politiknya pada pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Jakarta, Selasa (3/12/2019). Agenda munas ini digelar untuk menentukan Ketua Umum Golkar periode 2019-2024./Antara

Kaderisasi Parpol Tersumbat

Kalau merujuk pada kasus itu dan menguatnya oligarki politik maka parpol bukan lagi menjadi arena kompetisi dan sehat bagi para kader untuk menjadi pemimpin partai.

Di Indonesia pun ada parpol yang sejak berdiri, ketua umumnya tidak pernah berganti seperti PDIP yang ikut pemilu pertama kali pada tahun 1999. Bahkan, kemungkinan besar Megawati akan  terus memimpin PDIP hingga hingga 2024 atau selama 25 tahun.

Ujang menilai apabila parpol sudah dikuasai kekuatan oligarki, maka sosok yang akan menjadi ketum hanya itu-itu saja. Pemilihan ketum parpol pun sudah dikondisikan dengan cara aklamasi. Sedangkan, bagi kader yang ingin mencalonkan diri atau melawan oligarki, risikonya akan diasingkan atau dipecat.

"Tidak jalannya kaderisasi partai juga mengakibatkan kepemimpinan partai tidak berpindah tangan ke generasi yang sudah lama berjuang di partai. Namun, partai masih melanggengkan status quo. Tidak terjadi regenerasi dan tak akan terjadi perubahaan di tubuh partai," kata Ujang.

Karena itulah dia berpendapat bahwa jika fenomena aklamasi terjadi dihampir semua partai, artinya partai gagal dalam menjalankan proses demokratisasi dan kaderisasi. Kondisi itu juga juga akan membuat pembangun proses demokratisasi di tingkat nasional gagal.

Tren Aklamasi, Konsolidasi Parpol dan Oligarki Politik

Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Oesman Sapta Odang berpidato dalam musyawarah nasional (Munas) Hanura di Jakarta, Selasa (17/12/2019) malam. Dalam Munas yang beragendakan pemilihan ketua umum itu Oesman menjadi kandidat tunggal untuk periode 2019-2024./Antara

Lantas, apa solusi dari masalah ini?

Peneliti senior LIPI Siti Zuhro mengatakan pentingnya parpol membangun sistem kelembagaan dengan baik.

"Jika kelembagaan partainya sudah baik, maka proses demokrasi dan kaderisasi juga akan jalan,” ujarnya kepada Bisnis beberapa waktu lalu.

Solusi lainnya adalah membangun kesadaran di kalangan elite partai agar mereka sadar agar membangun partai secara profesional. Jangan bangun partai seperti perusahaan atau menjadi partai keluarga atau perkoncoan.

Siti Zuhro juga melihat sangat tidak nyambung kalau pemilihan ketua umum parpol dilakukan secara aklamasi seperti disebutkan di awal tulisan ini, sedangkan pemilihan umum sendiri dilaksanakan oleh rakyat secara langsung dalam suasana yang sangat demokratis.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper