Bisnis.com, JAKARTA--Perdana Menteri India Narendra Modi berusaha meyakinkan Muslim India untuk tak mencemaskan undang-undang kewarganegaraan baru.
UU yang disahkan pada 11 Desember 2019 itu menuai kontroversi dan memicu gelombang unjuk rasa dari warga India selama hampir dua pekan.
Dilansir dari Reuters, Senin (23/12/2019), regulasi itu dinilai mendiskriminasi warga Muslim dan mengacuhkan konstitusi sekular India karena memasukkan agama dalam kriteria untuk mendapatkan kewarganegaraan India.
"Undang-undang itu tidak berdampak terhadap 1,3 miliar orang India dan saya harus meyakinkan warga Muslim India bahwa undang-undang ini tidak akan mengubah apa pun untuk mereka," kata Modi berbicara di depan pendukungnya di New Delhi, Minggu (22/12/2019).
Dia menambahkan bahwa pemerintahnya memperkenalkan reformasi tanpa bias agama. Dia juga menuduh oposisi mendistorsi fakta untuk memicu protes.
"Kami tidak pernah bertanya kepada siapa pun apakah mereka pergi ke kuil atau masjid ketika menerapkan skema kesejahteraan," katanya.
Partai nasionalis Modi berencana untuk mengadakan lebih dari 200 konferensi pers untuk membendung aksi unjuk rasa.
Setidaknya 21 orang tewas dalam bentrokan dengan polisi ketika ribuan orang turun ke jalan-jalan di kota-kota di seluruh negeri untuk melakukan demonstrasi.
Lebih dari 1.500 pengunjuk rasa telah ditangkap dalam 10 hari terakhir. Selain itu, sekitar 4.000 orang telah ditahan dan kemudian dibebaskan, kata para pejabat.
Pemerintah Modi mengatakan bahwa undang-undang yang disebut Citizenship Amendment Act (CAA) itu diperlukan untuk membantu minoritas non-Muslim dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan yang melarikan diri ke India sebelum 2015 dengan memberikan mereka jalan menuju kewarganegaraan India.
Tetapi banyak orang India merasa bahwa CAA mendiskriminasi kaum Muslim dan melanggar konstitusi sekuler negara itu dengan menjadikan agama ujian bagi kewarganegaraan.