Bisnis.com, JAKARTA – Perilaku menaikkan tarif tiket pesawat terbang secara bersama-sama belum tentu merupakan perbuatan kartel.
Hal itu diungkapkan oleh pakar hukum Hikmahanto Juwana yang dihadirkan sebagai ahli oleh terlapor 5 hingga 7 yakni PT Batik Air, PT Lion Mentari, dan PT Wings Abadi.
Dalam persidangan, Selasa (10/12/2019) itu, dia menjelaskan bahwa terjadinya perubahan tarif secara bersama-sama memungkinkan terjadi dalam pasar yang bersifat oligopoli.
“Kalau para pelaku usaha sama-sama menjual rugi, namun pada suatu ketika ada salah satu pelaku usaha yang mengubah harga demi mendapatkan untung, maka tindakan itu akan diikuti oleh pelaku usaha lain dalam pasar yang sama agar mereka tidak mengalami kerugian lebih jauh. Hal ini disebut concerted action,” ujarnya di hadapan Majelis Komisi yang terdiri dari Kurnia Toha, Kodrat Wibowo dan Yuddy Hidayat.
Karena itu, menurutnya, harus diselidiki dan dipastikan apakah suatu perubahan tarif yang dilakukan secara bersama-sama itu dapat dikategorikan sebagai kartel atau hanya sekadar concerted action. Kartel, lanjutnya, harus dibuktikan dengan terjadinya kesepakatan di antara para pelaku usaha untuk mengubah tarif.
Dia juga menjelaskan bahwa perubahan tarif tiket penumpang kelas ekonomi di Indonesia menggunakan rambu-rambu tarif batas atas (TBA) dan tarif batas bawah (TBB).
Baca Juga
Upaya yang dilakukan pelaku usaha untuk mengubah tarif di bawah TBA menurutnya merupakan perintah dari undang-undang atau pemerintah sehingga harus dikecualikan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 50 huruf a Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Akan tetapi, dia juga menjelaskan bahwa ruang tarif di antara TBA dan TBB masih memungkinkan terjadinya persaingan usaha antarpelaku usaha.
Investigator KPPU, Darmaningrum membacakan pedoman penerapan PAsal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa dilakukan atas dasar perintah pemerintah melalui UU dan ada pemberian kewenangan kepada pihak tertentu. Sementara itu, dalam kebijakan tarif tiket penumpang kelas ekonomi, pemerintah hanya memberikan rambu TBA dan TBA namun tidak menunjuk tarif besaran tarif.
“Contoh yang paling tepat ada BPJS Kesehatan, badan tunggal yang diberi kewenangan oleh pemerintah,” katanya.
Hikmahanto mengatakan sah-sah saja jika menggunakan pedoman dari KPPU tersebut. Akan tetapi, dia berpandangan bahwa kebijakan menaikkan tarif tiket di antara TBA dan TBB merupakan perintah dari pemerintah.
Pengurangan Frekuensi
Sebelumnya, investigator KPPU menyatakan para terlapor disinyalir sengaja melakukan pengurangan frekuensi dan perubahan penerbangan. Menurut investigator Arnold Sihombing, pembatalan rencana penerbangan mengalami peningkatan yang signifikan dari masing-masing maskapai sebelum dan setelah November 2018, kecuali untuk maskapai Trans Nusa dan Air Asia.
Selain itu, lanjutnya, para terlapor juga diketahui melakukan pengurangan subclass atau tiket harga rendah. Hal ini menurutnya menjadi bukti adanya fakta bahwa terjadi perilaku yang sama atau perbuatan yang paralel dilakukan oleh para terlapor untuk tidak membuka tiket subclass sehingga konsumen tidak memiliki pilihan untuk mendapatkan tiket dengan harga yang lebih murah.
Selain mengurangi subclass, investigator juga menyinggung soal kenaikan harga tiket yang terjadi setelah November 2018 yang dinilai tidak rasional lantaran harga avtur justru menunjukkan penurunan sejak November 2018 bila dibandingkan dengan harga sebelum November.
Dia melanjutkan, apabila harga tiket rata-rata maskapai tersebut dibandingkan dengan tarif batas atas (TBA) yang ditetapkan pemerintah, diperoleh rasio bahwa setelah November 2018, rasio harga tiket maskapai terhadap TBA lebih tinggi dibandingkan sebelum November. Hal itu, katanya, menunjukkan bahwa harga tiket dari maskapai untuk rute yang dianalisis bergerak bersamaan mendekati TBA.
Investigator menilai pola pergerakan harga tiket masing-masing terlapor menunjukkan harga tiket memiliki pola harga yang sama di setiap bulan, sedangkan Air Asia, memiliki pola yang berbeda . Tidak hanya itu, pada low season, Januari hingga April, beberapa terlapor cenderung tidak menurunkan atau menstabilkan harga tiket.
Peningkatan harga tiket yang seragam tersebut dinilai oleh para investigator, memperkuat kolusi beberapa maskapai yang memiliki pergerakan harga yang sama.
Dari berbagai pemaparan tersebut, investigator menilai bahwa bentuk kesepakatan penetapan harga dan kartel adalah pertama para terlapor melakukan pengurangan atau peniadaan tiket subclass rendah.
Kedua, kerja sama manajemen Citilink Indonesia dengan Sriwijaya Group sehingga secara langsung dan tidak langsung operasional Sriwijaya Group berada di bawah kendali Garuda Indonesia Group.
Ketiga, para terlapor melanjutkan tindakan bersama-sama mengurangi jumlah penerbangan dengan melakukan pembatalan jadwal penerbangan.