Kabar24.com, JAKARTA — Tim jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan banding atas vonis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terhadap terdakwa mantan anggota DPR Markus Nari dalam kasus proyek kartu tanda penduduk berbasis elektronik.
"KPK telah menyampaikan secara resmi langkah untuk melakukan banding terhadap putusan pengadilan tindak pidana korupsi dengan terdakwa Markus Nari," ujar Juru bicara KPK Febri Diansyah, Selasa (3/12/2019).
Mantan anggota DPR dari Fraksi Golkar Markus Nari sebelumnya diputus bersalah 6 tahun penjara, denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar US$400.000 atau setara Rp4 miliar.
Uang pengganti itu merupakan uang yang diterima Markus Nari dari pengusaha Andi Narogong terkait KTP elektronik.
Atas dasar itu, jaksa tidak menerima dan menyatakan banding karena hakim ternyata menganggap Markus hanya menerima uang dengan jumlah tersebut. Adapun dugaan penerimaan lain yaitu sebesar US$500.000 tidak diakomodir dalam putusan tingkat pertama.
Febri mengatakan bahwa jaksa penuntut umum KPK cukup meyakini adanya dugaan penerimaan lain dari Andi Narogong melalui Mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera, Irvanto Hendra Pambudi di ruang Rapat Fraksi Golkar dan diklaim cukup terbukti di persidangan.
"Oleh karena itu, KPK mengajukan banding. Karena KPK cukup meyakini, seharusnya terdakwa terbukti menerima US$900 ribu atau setara lebih dari Rp12 miliar sehingga uang tersebut diharapkan nantinya dapat masuk ke kas negara," tutur Febri.
Dia mengatakan bahwa alasan pengajuan banding dilakukan agar uang hasil korupsi yang dilakukan Markus dapat kembali ke masyarakat melalui mekanisme uang pengganti.
Selain itu, KPK juga berharap penanganan kasus korupsi e-KTP dapat terbongkar secara maksimal bagaimana persekongkolan aktor politik dan birokrasi dalam mengondisikan sejak awal proyek triliunan rupiah tersebut mulai dari tahap penyusunan anggaran, perencanaan proyek hingga implementasi.
"Apalagi KTP elektronik adalah sesuatu yang sangat vital bagi administrasi kependudukan dan merupakan kepentingan seluruh masyarakat Indonesia."
Perkara ini diawali ketika Markus selaku anggota Badan Anggaran ikut membahas pengusulan anggaran proyek KTP-el sebesar Rp1,045 triliun.
Markus lalu menemui Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Irman dengan meminta fee proyek e-KTP sebesar Rp5 miliar.
Politikus Golkar itu menerima US$400.000 atau setara Rp4 miliar yang diungkap Sugiharto dalam persidangan. Mulanya, Markus Nari mengunjungi Kemendagri dan uang yang diterima terdakwa Markus berasal dari Andi Narogong sebagai pengumpul uang fee konsorsium.
Hakim menyatakan bahwa Markus tidak pernah menerima US$1.000.000 bersama Melchias Mekeng sebagai Ketua Banggar DPR dari Andi Narogong melalui Irvanto Hendra Pambudi saat berada di ruang kerja Setya Novanto yang menjabat Ketua Fraksi Golkar di DPR.
Dalam persidangan, hakim mengatakan Irvanto hanya menyerahkan kepada Mekeng.
"Uang US$500.000 diberikan dari Irvanto yang dikatakan Andi Narogong yang memintanya, majelis hakim tidak sependapat karena diungkap Andi Narogong tidak pernah memerintahkan Irvanto untuk memberikan uang," kata majelis hakim Frangky, di pengadilan Tipikor, Senin (11/11/2019).
Markus juga dalam perkara ini dinyatakan hakim bersalah merintangi penyidikan kasus korupsi proyek e-KTP dengan sengaja mencegah atau merintangi pemeriksaan.
Hal tersebut dilakukan Markus Nari terhadap mantan anggota DPR yang juga menjadi tersangka perkara KTP-el Miryam S. Haryani dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Kemendagri, Sugiharto, yang saat itu menjadi terdakwa.
Hakim meyakini Markus bersalah melanggar Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, sedangkan terkait merintangi penyidikan dia melanggar Pasal 21 UU Tipikor.
Adapun vonis ini lebih rendah dari tuntutan Jaksa KPK yang menuntutnya sembilan tahun penjara, denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti sebesar US$900.000.