Bisnis.com, JAKARTA - Gelombang kerusuhan sosial di negara-negara berkembang sepanjang tahun ini sempat membuat investor lengah dan menantang sistem yang dirancang pemerintah untuk mengukur risiko politik bagi investor.
Sebagian dari mereka memutuskan untuk menarik uangnya dan memicu kekhawatiran bahwa penarikan investasi dari portofolio miliaran dolar di negara berkembang dapat memperburuk tekanan ekonomi domestik.
Risiko lain yang dapat muncul adalah kelangkaan modal asing yang vital bagi pertumbuhan ekonomi serta ekspansi lapangan kerja.
Dilansir melalui Reuters, demonstrasi anti-pemerintah di Hong Kong, Chili, Bolivia, dan di negara lain dalam beberapa bulan terakhir berlangsung untuk waktu yang lama dan sangat intens.
Reaksi pasar yang tajam memaksa para manajer keuangan berpengalaman, yang mampu menavigasi risiko politik yang sering melekat pada pasar negara berkembang, untuk memikirkan kembali strategi mereka.
Beberapa investor bekerja dengan analis risiko internal atau eksternal untuk memantau semua faktor, mulai dari perubahan dala perpajakan hingga tren di media sosial untuk mengukur ancaman perselisihan sipil, pemberontakan, atau bahkan perang.
Keresahan tersebut menegaskan bahwa langkah penanggulangan risiko tradisional seperti kesediaan pemerintah untuk membayar utang atau jaminan stabilitas politik, tidak selalu sepenuhnya menangkap tanda-tanda awal dari kekacauan sosial.
"Ini tentang berpikir di mana kerusuhan berikutnya dapat terjadi dan mencoba untuk menghindarnya. Setiap keresahan pasar manapun akan memiliki dampak besar pada harga aset," kata Richard House, Utang Pasar Pasar CIO di Allianz Global Investors, dengan 535 miliar euro aset yang dikelola, dikutip melalui Reuters, Senin (2/12/2019).
Beberapa harga aset mengalami penurunan tajam. Obligasi Libanon diperdagangkan kurang dari setengah nilai nominalnya, saham Hong Kong telah jatuh sekitar 13% sejak April dan mata uang peso Chili mencapai rekor terendah.
Ketidakpuasan rakyat di Chili, yang telah menikmati pertumbuhan ekonomi yang konsisten dan meningkatnya kesejahteraan selama bertahun-tahun, muncul sebagai kejutan yang tidak diduga.
Indikator-indikator yang dirancang untuk menandai kemungkinan seperti itu terlihat melemah ketika kerusuhan terjadi pada Oktober.
Dengan peringkat kredit tingkat investasi yang solid, Chili berada di peringkat ke 18 dari 60 negara dalam Sovereign Risk Index yang disusun BlackRock, indeks ini mengukur faktor-faktor seperti tingkat utang dan kekuatan sektor keuangan.
"Chili adalah pengecualian dari pola kerusuhan baru-baru ini, yang cenderung terjadi di negara-negara tengah yang rapuh dalam semi-otokrasi atau demokrasi lemah," kata James Lockhart Smith, kepala risiko sektor keuangan di Verisk Maplecroft.
Pembroke Emerging Markets memangkas investasinya di Chili bulan ini, setelah sebelumnya memprediksikan penurunan harga dengan indikasi belanja konsumen mungkin tertekan harga tembaga yang lebih rendah, sumber ekspor utamanya.
Pembroke CIO Sanjiv Bhatia mengatakan, salah satu hal yang mereka pelajari adalah bahwa situasi berubah dengan cepat dan ketika visibilitas menjadi rendah, lebih baik mengambil posisi yang lebih minim risiko.
Menurutnya, terutama sejak protes meluas, Pembroke secara teratur meninjau kembali analisis risiko di Chili dari kriteria yang digunakannya untuk menentukan keputusan investasi.
Kini, investor tengah mencari benang merah dari serangkaian aksi protes yang berlangsung, seperti kesenjangan kekayaan, pengangguran dan kurangnya kebebasan politik, untuk membantu mengidentifikasi negara-negara yang rentan terhadap ketidakstabilan yang serupa.
"Sebagian besar negara-negara di Timur Tengah memiliki populasi yang sangat muda dan ketimpangan pendapatan yang tinggi, jadi kami menghindari tempat-tempat seperti Yordania dan Oman yang memiliki demografi serupa dengan Lebanon dan Irak," kata House dari Allianz.
Allianz mengurangi eksposurnya di Kolombia sebelum aksi protes di mulai baru-baru ini.
Sementara itu, BNP Paribas Asset Management, dengan 436 miliar euro aset yang dikelola, telah menarik sebagian besar investasinya di Bolivia dan Venezuela sebelum kerusuhan terjadi berkat matriks penghitungannya sendiri.
Belum jelas apakah kerusuhan telah memicu penarikan yang lebih luas. Chili mencatat arus keluar ekuitas sebesar US$24,2 juta pada Oktober, tetapi berhasil mencatat rebound untuk sebagian aset sampai dengan 22 November.
Dana ekuitas pasar negara berkembang secara keseluruhan kehilangan US$3,2 miliar pada Oktober ketika protes merebak di Ekuador, Bolivia, dan Lebanon, tetapi hampir setengahnya kembali.
Dana obligasi tercatat bertambah US$3,7 milyar di bulan Oktober, tetapi kemudian berkurang hingga US$326,1 milyar pada November.
Kerusuhan telah meningkatkan pengawasan terhadap negara dengan tingkat kekerasan yang tinggi, diskriminasi terhadap perempuan, korupsi atau lemahnya aturan hukum, yang telah menjadi perhatian para pengunjuk rasa.
“Ini memperkuat premis bahwa pemilihan negara [sebagai tujuan investasi] penting, tidak ada tempat lain selain di negara ekonomi berkembang, di mana tingkat kebebasan sangat bervariasi antara negara,” kata Perth Tolle, pendiri Life + Liberty Indexes.
Tolle mengutip klien yang mempertimbangkan untuk mengurangi eksposur mereka di China, sebagian karena tanggapan Beijing terhadap protes di Hong Kong.