Cari berita
Bisnis.com

Konten Premium

Bisnis Plus bisnismuda Koran Bisnis Indonesia tokotbisnis Epaper Bisnis Indonesia Konten Interaktif Bisnis Indonesia Group Bisnis Grafik bisnis tv

Politik Transaksional : Kursi Menteri Berbanderol Rp500 Miliar, Calon Kepala Daerah Bayar di Muka

Fenomena politik transaksional dalam pengisian jabatan-jabatan publik mengundang otokritik dari kalangan politisi.
Samdysara Saragih
Samdysara Saragih - Bisnis.com 25 November 2019  |  02:02 WIB
Politik Transaksional : Kursi Menteri Berbanderol Rp500 Miliar, Calon Kepala Daerah Bayar di Muka
Humphrey Djemat (tengah)

Bisnis.com, JAKARTA -- Fenomena politik transaksional dalam pengisian jabatan-jabatan publik mengundang otokritik dari kalangan politisi.

Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Muktamar Jakarta, Humphrey Djemat, terheran-heran ketika memasuki dunia politik. Advokat ini menemukan fakta bahwa jabatan level menteri tidak terbebas dari transaksi politik.

"Saya mendengar dari calon menteri yang di-endorsed oleh partai politik. Tak perlu kasih uang tapi harus bisa berkontribusi Rp500 miliar selama jadi menteri," ujarnya ketika bercerita dalam acara diskusi Quo Vadis Pilkada Langsung di Jakarta, Minggu (24/11/2019).

Menurut Humphrey, permintaan tersebut tidak digubris oleh sang calon menteri. Praktik 'setoran' dinilai oleh sang calon menteri tidak profesional dan berlawanan dengan nuraninya.

"Kalau dia mau bisa. Tapi dia tak mau," ucap penerus Djan Faridz ini.

Humphrey menilai aneh perangai parpol menjanjikan kursi kabinet dengan dibarter setoran selama menjabat. Pasalnya, pemilihan menteri merupakan hak prerogatif Presiden Joko Widodo.

Fakta tersebut, kata Humphrey, merupakan bukti nyata fenomena transaksi politik oleh parpol. Tak hanya untuk jabatan yang ditunjuk, transaksi politik terjadi pula saat pengisian kursi kepala daerah lewat pemilihan langsung.

Bagaimana pun, seorang calon kepala daerah mesti diusung oleh parpol atau gabungan parpol. Untuk mendapatkan tiket pencalonan, telah dikenal istilah 'mahar' yang dibayarkan calon kepala daerah di muka.

Humphrey menjelaskan bahwa mahar tersebut bisa jadi lebih tinggi ketimbang biaya untuk berkampanye. Tak heran, kata dia, kepala daerah melakukan praktik korupsi untuk menutup ongkos yang dikeluarkannya saat pilkada.

"Masalah terbesar kita adalah di parpol. Saya ingin ada pembenahan di parpol," kata Humphrey.

Bukannya menyetop politik transaksional, pemerintah justru sempat melontarkan ide agar kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD. Argumentasinya, politik biaya tinggi terjadi karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.

Humphrey membantah pemilihan kepala daerah oleh DPRD menghentikan praktik politik uang. Justru, kata dia, transaksi masih terjadi tetapi melibatkan kandidat dengan anggota DPRD yang notabene kader parpol.

"Di DPRD [transaksi] uang tertutup, akuntabilitas tak ada," ujarnya.

Politikus Partai Golkar Zulfikar Arse Sadikin mengamini fenomena politik transaksional. Untuk itu, kata dia, Golkar bertekad meniadakan mahar dalam pengisian jabatan publik.

"Ke depan, materi musyawarah nasional Golkar ke sana. Kami ingin parpol jadi tulang punggung demokrasi," tutur Anggota Komisi II DPR ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini :

parpol politik uang
Editor : Rustam Agus

Artikel Terkait



Berita Lainnya

    Berita Terkini

    back to top To top