Bisnis.com, JAKARTA - Hong Kong merevisi turun perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun ini karena kerusuhan politik yang berkepanjangan, mengindikasikan potensi kontraksi tahunan pertama sejak krisis keuangan global 1 dekade lalu.
Dilansir melalui Bloomberg, pemerintah kota menyampaikan hasil akhir pertumbuhan ekonomi sepanjang kuartal ketiga pada Jumat (15/11/2019), di mana produk domestik bruto selama 3 bulan sampai dengan September turun 3,2% dari kuartal sebelumnya.
Sementara itu, PDB secara keseluruhan untuk tahun ini diperkirakan akan terkontraksi 1,3% dari tahun sebelumnya.
Prospek suram memberikan gambaran yang tidak jauh berbeda dengan pemandangan yang terlihat pada jalan-jalan di kota Hong Kong saat ini.
Aksi unjuk rasa, yang seringkali disertai kekerasan, terhadap pemerintah, memaksa pusat perbelanjaan, restoran dan toko tutup atau buka pada jam-jam yang lebih pendek di banyak distrik.
"Kami memandang aksi protes akan berlanjut hingga 2020 kecuali jika pemerintah Hong Kong akan melakukan sesuatu yang benar-benar signifikan untuk mengakhiri konflik" kata Iris Pang, ekonom ING untuk kawasan China, dikutip melalui Reuters, Jumat (15/11/2019).
Jika aksi protes tidak kunjung berakhir, analis mengatakan bahwa penurunan ekonomi Hong Kong akan menjadi lebih buruk, di mana PDB dapat terus menyusut lebih lanjut pada kuartal ini hingga tahun depan.
ING memperkirakan ekonomi Hong Kong menyusut sebesar 2,2% pada 2019 dan 5,3% pada 2020.
Pusat keuangan dan perdagangan Hong Kong sudah di bawah tekanan kuat dari perang tarif yang berkepanjangan antara Washington dan Beijing, tetapi demonstrasi yang semakin parah, yang telah berlangsung selama lebih dari lima bulan, memberikan kerugian yang lebih menyakitkan.
Gangguan transportasi yang sering terjadi, bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa hingga penggunaan gas air mata telah menghancurkan sektor ritel dan menakuti para wisatawan.
Terutama dari daratan China, yang merupakan 80% dari 65,1 juta pengunjung yang datang ke Hong Kong pada 2018.
Penjualan ritel Agustus adalah yang terburuk sepanjang sejarah, turun 23% dari tahun sebelumnya, sedangkan penjualan pada September anjlok 18,3%.
Semakin banyak toko-toko, restoran, dan bisnis lain di seluruh kota yang dimiliki oleh pebisnis China memilih untuk tutup lebih cepat, seringkali dengan sedikit atau tanpa pemberitahuan. Beberapa bisnis kecil harus ditutup untuk selamanya.
Aksi protes ini memberikan kota yang dikenal sebagai pusat keuangan dunia, dengan total aset perbankan, dana dan manajemen kekayaan bernilai lebih dari US$6 triliun, krisis politik pertamanya sejak puluhan tahun.
IHS Markit mencatat, aktivitas bisnis di sektor swasta turun ke level terlemah dalam 21 tahun terakhir pada Oktober, sedangkan permintaan dari daratan China menurun pada kecepatan paling tajam.
Pemerintah telah mengeluarkan beberapa stimulus sejak Agustus, tetapi karena dipaksa untuk mempertahankan tingkat cadangan tinggi dengan patokan dolar Hong Kong terhadap AS, paket-paket tersebut relatif kecil.
Analis juga meragukan efektivitas stimulus tersebut karena ketidakpastian telah mencegah bisnis dan konsumen untuk melakukan pengeluaran dan investasi, dan penutupan toko akan menyebabkan hilangnya pekerjaan.
Tommy Wu, ekonom senior di Oxford Economics, memprediksi kontraksi PDB akan mencapai 1,5% untuk 2019 dan berlanjut hingga tahun depan.
"Mengingat betapa buruknya sentimen, kami tidak mengharapkan stimulus akan memberikan dampak yang berarti sampai kerusuhan politik berhenti. Tapi ada kemungkinan ada lebih banyak stimulus di masa depan," katanya.