Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Negara-Negara Asia Kesulitan Mengapitalisasi Perang Dagang AS-China

Sebuah laporan yang dirilis oleh Bloomberg Economics menunjukkan bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat mengulang kesuksesan yang dinikmati China dalam mentransformasikan ekonominya.
Perang dagang AS-China/istimewa
Perang dagang AS-China/istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Perang dagang berkepanjangan antara Amerika Serikat dan China memicu kembali perdebatan tentang negara-negara berkembag di Asia yang dapat mengambil alih gelar pusat manufaktur dunia.

India dan Indonesia digadang-gadang sebagai calon potensial.

Sebuah laporan yang dirilis oleh Bloomberg Economics menunjukkan bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat mengulang kesuksesan yang dinikmati China dalam mentransformasikan ekonominya.

Namun, diperkirakan muncul serangkaian China-kecil, yang akan mencoba untuk memanfaatkan kondisi saat ini, dan berpotensi menggantikan China meskipun prosesnya tidak akan mudah dengan keterbatasan infrastruktur dan regulasi.

Di tengah ancaman yang datang dari perang dagang dengan AS, Bloomberg Economics mempertimbangkan enam metrik, dari peraturan ketenagakerjaan hingga bisnis, di 10 ekonomi Asia, untuk mengidentifikasi negara berkembang yang bisa mendapatkan porsi lebih besar dari kue manufaktur Asia.

Dalam laporan tersebut, ekonom Bloomberg Chang Shu dan Justin Jimenez, menuliskan tidak ada ekonomi tunggal yang memiliki kemampuan untuk menggantikan China.

“Banyak negara yang memiliki keunggulan produksi berbiaya rendah, dengan pengecualian India, tetapi mereka semua tidak memiliki skala industri China," tulis laporan tersebut, dikutip melalui Bloomberg, Selasa (12/11/2019).

India menduduki peringkat teratas dalam peringkat potensi ekspor berkat populasinya yang sangat besar, meskipun masih berada jauh di bawah Guangdong, proxy yang digunakan untuk China dalam analisis ini.

Yang kedua adalah Indonesia, diikuti oleh Vietnam yang baru-baru ini mulai mendapatkan perhatian lebih dari pasar.

China memiliki rantai pasokan, akses pemasaran dan kontak eksisting yang dibangun oleh pabrikan kecil dan menengah di kota-kota industri China, bukan hal mudah untuk menirunya.

Pabrik-pabrik China telah menghabiskan waktu puluhan tahun saling bersaing satu sama lain, dengan memangkas biaya, merampingkan produksi dan meningkatkan efisiensi transportasi.

Harga manufaktur China telah menurun sejak Juli, berkat biaya energi yang lebih murah, sehingga lebih sulit lagi bagi pabrik-pabrik di luar negeri untuk bersaing.

INDIA DAN INDONESIA

Upaya India untuk mengejar kemampuan produksi China sudah dimulai sejak 5 tahun yang lalu dengan inisiatif  “Make in India”, sebuah konsep yang diusung oleh Perdana Menteri Narendra Modi dan menawarkan insentif kepada perusahaan asing untuk membuka pabrik.

India hampir menyalip China sebagai negara terpadat di dunia dan populasi usia kerjanya diproyeksikan menjadi 1 miliar pada 2050.

Akan tetapi, keuntungan dari pasokan tenaga kerja murah yang besar di India tidak didukung oleh infrastruktur yang belum memadai, peraturan ketenagakerjaan yang sudah ketinggalan zaman dan birokrasi yang lamban.

Setidaknya, negara Asia Selatan tersebut telah membuat kemajuan, setelah berhasil menempati posisi ke-63 dalam peringkat kemudahan melakukan bisnis versi World Bank, tetapi masih tertinggal dari China.

Kisah serupa juga terjadi di Indonesia, meskipun berhasil mengungguli India dari segi stabilitas ekonomi makro, negara kepulauan ini masih memiliki banyak kekurangan dari segi infrastruktur.

Pada September 2019, Presiden Indonesia Joko Widodo mengatakan bahwa negaranya telah gagal memikat pabrik-pabrik dari China karena investor tetap waspada terhadap peraturan lokal yang tidak praktis.

Butuh waktu sekitar 2 tahun bagi perusahaan asing seperti Sharp Corp. asal Jepang, untuk merelokasi pabriknya dari Thailand ke Indonesia.

Tahun lalu, Indonesia meluncurkan sistem Pengajuan Tunggal Online dalam upaya untuk mempermudah memperoleh izin usaha.

"Fasilitas itu tidak banyak membantu karena izin terpisah masih diperlukan dari pemerintah daerah. Hal yang sama ada untuk perpajakan," kata Andry Adi Utomo, manajer umum senior penjualan nasional di PT Sharp Electronics Indonesia.

Vietnam, yang sering disebut sebagai calon pemenang dari perang dagang, menunjukkan bahwa keuntungan yang mereka nikmati dari limpahan perang dagang tidak berlangsung lama.

Pemerintahan Trump menetapkan tarif lebih dari 400% pada impor baja dari Vietnam dan menambahkan negara itu ke daftar pantauan manipulator mata uang pada Mei.

Meskipun berhasil menempati peringkat ketiga, Vietnam juga dihadapi dengan tantangan infrastruktur yang membuatnya tidak dapat optimal memanfaatkan momen perang dagang.

Akan tetapi negara-negara berkembang bukan satu-satunya di Asia yang memperoleh manfaat dari perubahan pola perdagangan.

Menurut Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan, perusahaan-perusahaan AS mengalihkan impor sekitar US$21 miliar dari China pada paruh pertama tahun 2019.

Taiwan adalah penerima manfaat terbesar, diversi perdagangan mendorong ekspor sebesar US$4,2 miliar selama periode tersebut, sebagian besar untuk pengiriman mesin kantor dan peralatan komunikasi.

Laporan UNCTD menunjukkan bahwa Meksiko berada di posisi kedua dengan perolehan US$3,5 miliar, diikuti oleh Uni Eropa sebesar US$2,7 miliar, tepat di depan Vietnam yang menerima US$2,6 miliar.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Nirmala Aninda
Editor : Achmad Aris
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper