Bisnis.com, JAKARTA – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kian memberikan kemudahan bagi pemegang lisensi kekayaan intelektual untuk melaporkan tindakan penyalahgunaan.
Upaya itu dilakukan dengan cara meluncurkan layanan pengaduan berbasis elektronik dengan alamat e-pengaduan.dgip.go.id. Pekan lalu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly menjelaskan bahwa sistem pengaduan online itu mengakomodir aduan-aduan berupa pelanggaran dan pelayanan kekayaan intelektual dari masyarakat.
Dengan begitu, masyarakat akan lebih mudah dan aktif turut serta membantu DJKI Kemenkumham dalam menciptakan iklim berkreasi dan berinovasi yang kondusif.
“Jangan sampai nanti sudah diambil oleh negara lain baru kita bingung. Nanti reog bukan lagi reog Ponorogo tapi jadi reog Kuala Lumpur,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan, layanan e-pengaduan ini akan mengganti sistem pengaduan pelanggaran dan pelayanan KI yang saat ini masih dilakukan dengan cara surat-menyurat.
Menurutnya, DJKI Kemenkumham sebagai instansi yang bertanggung jawab atas perlindungan dan pelayanan KI supaya efektif dan efisien, berupaya membangun aplikasi Pengaduan KI yang dapat diakses masyarakat.
Baca Juga
Direktur Jenderal KI Freddy Harris menyampaikan, bahwa DJKI Kemenkumham terus berinovasi di bidang infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia, dan sistem informasi teknologi supaya tercipta perlindungan KI lebih baik beberapa tahun terakhir.
“DJKI memahami bahwa kekayaan intelektual memiliki peran sangat penting dalam menunjang perkembangan perekonomian dan perdagangan baik di pusat maupun di daerah karena kaitannya yang erat dengan dunia perdagangan dan investasi Indonesia,” katanya.
PELANGGARAN TINGGI
Berdasarkan pengkajian Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Hukum dan HAM triwulan II-III 2019, pelanggaran terhadap KI di Indonesia masih cukup tinggi.
Dari data Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, dalam kurun 2011— 2016 terdapat 616 perkara pelanggaran. Pelanggaran Hak Cipta sebanyak 316 perkara, Merek sebanyak 274 perkara, Desain Industri 16 perkara, Paten 7 perkara, dan Rahasia Dagang 3 perkara.
Sementara itu, menurut data Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dari 2015 – 2019 berjumlah 60 perkara dengan jumlah perkara merek yang paling dominan.
Pengaduan merupakan pintu masuk dan prasyarat utama dari upaya penegakan hukum atas terjadinya pelanggaran di bidang kekayaan intelektual. Pasalnya, sistem hukum di Indonesia menempatkan pelanggaran di bidang ini sebagai delik aduan. Penelitian Balitbang pada Oktober 2019 menyatakan bahwa pertimbangan utama delik aduan adalah memberikan hak yang lebih kuat kepada pemegang hak KI ketika berperkara.
Akan tetapi banyak kasus sengketa di bidang KI yang diselesaikan melalui jalur pengadilan menyebabkan beban penyelesaian pengadilan negeri semakin bertambah hingga menyebabkan penumpukan kasus yang berakibat pada kemacetan dalam penyelesaiannya.
Hal itu pada akhirnya akan berimbas buruk pada para pihak yang bersengketa, karena dalam proses litigasi cenderung menghasilkan masalah baru karena membutuhkan waktu yang tidak sedikit sehingga upaya alternatif penyelesaian sengketa atau non litigasi semakin diminati.
Salah satu bentuk jalur non litigasi yang memungkinkan adalah melalui proses mediasi. Sejak 2010 Kementerian Hukum dan HAM telah membentuk Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa pada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI).
Untuk diketahui 3 tahun terakhir ini, Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa telah menangani sengketa KI sebanyak 76 pelanggaran KI. Yang terdiri dari: pelanggaran merek sebanyak 51 kasus, 11 kasus hak cipta, 9 kasus desain industri, dan 5 kasus paten. Dari 76 kasus tersebut, hanya 16 kasus yang disepakati para pihak untuk diselesaikan melalui mediasi.
MEDIATOR
Karena mediasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian masalahan, keberadaan mediator untuk menyelesaikan sengketa KI di Kemenkumham sangat dibutuhkan.
Menurut penelitian Balitbang yang mengambil data dari Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang ada Dirjen KI berjumlah 23 orang, yang keberadaannya tersebar di beberapa Direktorat di Dirjen KI.
Dari 23 orang tersebut hanya 6 orang yang sudah mempunyai sertifikat sebagai mediator, setelah dinyatakan lulus mengikuti pelatihan mediasi yang diadakan oleh lembaga yang terakreditasi oleh Mahkamah Agung.
Enam orang mediator yang sudah memiliki sertifikat tersebut, 4 orang di Direktorat Jenderal KI (Pusat) dan 2 orang di Kanwil Kemenkumham (Kanwil DKI dan Kanwil Sulawesi Selatan). Dan mediator yang ada saat ini terdiri dari Pejabat Struktural dan Pejabat PPNS. Artinya seseorang pejabat struktural merangkap sebagai mediator.
Sementara itu, data yang diperoleh dari Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta, terdapat 5 orang PPNS. Dari jumlah itu, hanya 1 orang yang sudah mempunyai sertifikat untuk menjadi mediator, yang telah mengikuti pelatihan mediasi selama satu minggu.
Meskipun sudah memiliki tenaga SDM mediator, serta memiliki layanan pengaduan terkait dengan sengketa KI, hingga saat ini Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta belum pernah ditugaskan untuk menyelesaikan sengketa KI karena dekatnya jarak antara Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta dengan kantor DJKI yang juga melayani pengaduan sengketa, sehingga masyarakat yang bersengketa cenderung untuk melakukan pengaduan langsung ke DJKI.
Menariknya, dalam pelaksanaan mediasi masih kerap kali terjadi penunjukan mediator untuk penanganan kasus yang tidak dilakukan melalui prosedur yang jelas, mediator dapat sewaktu-waktu diganti secara sepihak, termasuk oleh pimpinan, serta masih adanya campur tangan dari pihak-pihak yang tidak berkepentingan dalam proses mediasi.
Secara umum, hasil penelitian itu menyatakan ada hambatan dalam pelaksanaan mediasi di Kemenkumham terdiri dari segi aspek kelembagaan, sumber daya manusia, dan belum adanya mekanisme berupa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam penyelesaian sengketa KI melalui mediasi.
Sebagai contoh, ada hambatan struktural, yakni Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemenkumham sebagaimana telah beberapa kali.
Terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 24 Tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Aturan itu belum mengatur secara jelas tugas dan fungsi serta jenjang karier mediator sebagai pelaksana penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa KI.
Selain itu, sumber daya manusia sebagai mediator di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM masih saat ini berstatus sebagai Jabatan Fungsional Umum (JFU) serta merangkap dalam jabatan lain. Alhasil, tugas sebagai mediasi merupakan tugas tambahan yang diberikan apabila mediator tersebut dibutuhkan.
Selain itu, dalam pelaksanaannya mediasi perkara, mediator dari luar Kemenkumham juga dilibatkan. Hal ini menyebabkan mediator yang ada mengalami kesulitan dalam mengembangkan kompetensinya, sehingga berdampak juga dalam kepiawaiannya untuk menjadi mediator dalam menyelesaikan suatu sengketa KI.
Saat ini, Kemenkumham hanya memiliki 6 orang tenaga mediator yang telah tersertifikasi sebagai mediator, dari 23 calon mediator yang telah pernah mengikuti pelatihan.