Bisnis.com, JAKARTA - Alibaba Group Holding Ltd. dikabarkan tengah menimbang kembali rencana perusahaan untuk menerbitkan saham di Hong Kong pada November atau menunda sampai tahun depan di tengah intensitas ketidakpastian global.
Menurut sejumlah sumber, rencana listing ini harus diawali dengan rapat umum pemegang saham pascapengumuman pendapatan 1 November, setelah hari belanja Singles' Day pada 11 November, atau menunda seluruh prosesnya sampai 2020.
"Alibaba enggan untuk menunda-nunda dengan ketidakpastian yang meningkat terkait ketegangan AS-China dan prospek ekonomi makro global," ujar sumber tersebut yang secara anonim, dikutip melalui Bloomberg, Kamis (31/10).
Rencana Alibaba untuk melakukan listing telah digadang-gadang sebagai akan menjadi pencapaian terbesar bursa saham Hong Kong setelah kehilangan sejumlah perusahaan teknologi terbaik China dengan Amerika Serika.
Sayangnya, aksi pro-demokrasi dan unjuk rasa anti-China yang memuncak sepanjang musim panas telah mengguncang pusat keuangan tersebut dan menekan saham yang terikat dengan Beijing.
Miliarder Jack Ma, pendiri Alibaba, bermimpi untuk menerbitkan sahamnya lebih dekat dengan 'rumah', sebuah langkah yang akan menguntungkan Beijing dan terhindar dari perang dagang.
Namun langkah ini berisiko menjadi boomerang jika penawaran tidak memenuhi target.
Menurut sumber Bloomberg, dari pencatatan ini Alibaba menargetkan dana terserap sebesar US$10 miliar atau setengah dari target awal.
Perusahaan itu dapat memanfaatkan momen IPO yang positif di Hong Kong baru-baru ini, di mana beberapa perusahaan termasuk unit Asia Anheuser-Busch InBev NV yang berhasil menyerap dana lebih dari US$1 miliar.
Hingga berita ini ditulis, Alibaba menolak untuk berkomentar.
Namun keputusan apa pun akan bergantung pada reaksi investor terhadap performa kinerja perusahaan, yang diprediksi akan menunjukkan laju pertumbuhan pendapatan yang paling lambat dalam sekitar 3 tahun terakhir.
Penjualan saham di Hong Kong yang sukses dapat membantu Alibaba untuk menambah amunisinya dalam persaingan pasar dengan Meituan Dianping dalam industri pengiriman dan perjalanan makanan.
"Prospek Alibaba yang menjanjikan juga dapat mengalihkan uang tunai investor dari saingannya seperti Meituan dan operator WeChat, Tencent," seperti dikutip melalui Bloomberg.
Menggerakkan investor agar menanamkan uangnya lebih dekat dengan Beijing juga akan menjadi penyangga jika ketegangan AS-China memburuk.
Belum lama ini, anggota parlemen AS seperti Senator Marco Rubio sedang berupaya mengekang dana keluar untuk perusahaan China.
Alibaba, yang diperkirakan memiliki aset dalam cash and cash equivalent (CCE) sekitar US$57 miliar pada Juni, berekspansi dengan memanfaatkan popularitas e-commerce nasional berkat konsumen kelas menengah yang semakin makmur.
Namun, sama dengan saingannya Tencent Holdings Ltd., Alibaba berjuang untuk mempertahankan pertumbuhan di tengah perlambatan ekonomi terbesar kedua dunia serta perang dagang AS-China yang mencakup perdagangan hingga teknologi.
Di Beijing, ketegangan terus tumbuh.
Pertumbuhan produk domestik bruto China diperkirakan akan merosot di bawah 6%, yang akan menjadi laju ekspansi ekonomi paling lambat dalam 3 dekade terakhir.
Sementara itu, Alibaba diproyeksikan membukukan pertumbuhan pendapatan sebesar 37% pada kuartal ketiga tahun ini.
Sejak go public di New York, nilai saham Alibaba telah naik lebih dari dua kali lipat, memberikan kapitalisasi pasar sekitar US$460 miliar.
Pada Agustus, Alibaba melaporkan pendapatan dan laba triwulanan yang lebih baik dari perkiraan, dibantu oleh pertumbuhan bisnis e-commerce dan cloud computing.
Data Refinitiv menunjukkan, dana yang dihimpun oleh perusahaan-perusahaan yang melakukan IPO di bursa Hong Kong dari Januari hingga pertengahan Oktober, mencapai US$18,5 miliar.
Adapun, dana yang dihimpun di NYSE sebesar US$21,9 miliar dan Nasdaq sebesar US$23,3 miliar pada periode yang sama.