Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan tidak gentar menghadapi permohonan praperadilan yang diajukan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya sudah yakin dengan prosedur pelaksanaan dan juga subtansi pokok perkara di kasus suap dana hibah Kemenpora ke KONI yang menjerat Imam Nahrawi.
"Jadi tidak ada yang mengkhawatirkan saya kira, kalau mau praperadilan silakan saja, yang pasti kami hadapi karena KPK yakin sekali dengan prosedur yang sudah kami lakukan, apalagi subtansi perkaranya," kata Febri, Jumat (18/10/2019).
Terlebih, lanjut Febri, praperadilan juga merupakan hak seorang tersangka dan bukan sesuatu yang baru dialami KPK. Selain itu, praperadilan menurutnya bagian dari risiko tugas KPK sehingga segala bentuk penyidikan akan dilakukan secara hati-hati.
Febri juga mengaku pihaknya akan menindaklanjuti isi petitum permohonan yang diajukan Imam Nahrawi, salah satunya soal penilaian tidak sahnya penetapan tersangka Imam.
Adapun sidang perdana praperadilan Imam Nahrawi akan digelar pada 21 Oktober 2019 pukul 09.00 WIB dipimpim hakim tunggal Elfian di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Kalau panggilan sidangnya sudah ada, permohonannya sudah disampaikan ke KPK tentu kami pelajari lebih lanjut. Kalau misalnya belum memungkinkan waktu yang diminta tersebut dilakukan persidangan perdana tentu kami akan mengajukan surat atau tindakan-tindakan lain," papar Febri.
Sebelumnya Imam Nahrawi mengajukan praperadilan lantaran mempersoalkan tentang sah atau tidaknya penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam petitum permohonan, pihak Imam menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Imam Nahrawi selaku pemohon yang didasarkan pada surat perintah penyidikan nomor Sprin.Dik/94/DIK.00/01/08/2019 pada 28 Agustus 2019 dinilai tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, pihak Imam Nahrawi juga mempersoalkan penahanan yang dilakukan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap tidak sah dan tidak mempunyai hukum mengikat.
"Menyatakan Surat Perintah Penahanan Nomor Sprin.Han/111/DIK.01.03/01/09/2019, 27 September 2019 yang menetapkan pemohon untuk dilakukan penahanan oleh termohon adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tulis petitum permohonan, dikutip Bisnis, Jumat (18/10/2019).
Isi petitum juga meminta agar memerintahkan kepada termohon dalam hal ini KPK untuk menghentikan seluruh tindakan penyidikan terhadap Imam Nahrawi sebagaimana adanya surat perintah penyidikan nomor Sprin.Dik/94/DIK.00/01/08/2019, pada 28 Agustus 2019.
Kemudian pihak Imam menyatakan tidak sah segala penerbitan Sprindik dan penetapan tersangka lainnya yang dikeluarkan lebih lanjut oleh KPK yang berkaitan dengan penetapan tersangka dan penahanan terhadap diri Imam Nahrawi.
Hal itu hingga terbuktinya keterkaitan perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh asisten pribadinya, Miftahul Ulum, dengan pemohon atau Imam Nahrawi sampai memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.
"Memerintahkan termohon untuk mengeluarkan pemohon seketika sebagai tahanan Rutan KPK cabang Pomdam Guntur Jakarta Timur sejak Putusan dibacakan," demikian bunyi petitum.
Imam ditetapkan sebagai tersangka bersama asisten pribadinya, Miftahul Ulum, berdasarkan pengembangan kasus dana hibah Kemenpora ke KONI tahun 2018.
Imam diduga menerima total Rp26,5 miliar dengan rincian Rp14,7 miliar dari suap dana hibah Kemenpora ke KONI, dan penerimaan gratifikasi Rp11,8 miliar dari sejumlah pihak dalam rentang 2016-2018.
Penerimaan Imam Nahrawi diduga merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan oleh pihak KONI kepada Kemenpora.
Selain itu, penerimaan uang terkait dengan Ketua Dewan Pengarah Satlak Prima dan penerimaan lain yang berhubungan dengan jabatan Imam Nahrawi saat menjadi Menpora.
Uang tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi Menpora dan pihak Iain. Saat ini, Imam dan Ulum telah ditahan KPK.
Keduanya disangka melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 12 huruf B atau Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.