Bisnis.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengingatkan kepada pemerintah bahwa UU KPK hasil revisi otomatis diundangkan paling lambat 1 bulan setelah disahkan oleh DPR.
“Dalam UUD 1945, dalam hal setelah persetujuan bersama [pemerintah dan DPR] pada 17 September, 30 hari tidak ditandatangani oleh Presiden maka [UU KPK hasil revisi] sah berlaku dan wajib diundangkan,” kata Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara No. 59/PUU-XVII/2019 di Jakarta, Senin (14/10/2019).
Wahiduddin menyebut bahwa tanpa tanda tangan Presiden sebuah UU diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Mengingat UU KPK hasil revisi disahkan DPR pada 17 September, masih tersisa 3 hari pengundangan beleid tersebut dengan atau tanpa diteken oleh Presiden.
“Karena belum 30 hari, belum dimuat dalam Lembaran Negara RI, termasuk penjelasan UU-nya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara RI,” ujar bekas Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM ini.
Kendati belum diundangkan, MK telah menerima tiga permohonan pengujian konstitusionalitas UU tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Permohonan pertama yang teregistrasi dalam Perkara No. 57/PUU-XVII/2019 diperiksa perdana pada 30 September.
Pada hari ini, Senin (14/10/2019), MK menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan atas Perkara No. 59/PUU-XVII/2019. Pemohon perkara tersebut adalah 25 mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam As-Syafi'iyah.
Adapun permohonan ketiga diajukan oleh seorang advokat bernama Gregorius Yonathan Deowikaputra. Namun, gugatan tersebut belum diregistrasi, sehingga belum dijadwalkan sidang pemeriksaan pendahuluannya.
Dalam sidang hari ini, MK kembali menyoroti langkah pemohon yang terburu-buru mengajukan permohonan mengingat UU KPK hasil revisi belum diundangkan. Padahal, permohonan di MK harus memiliki nomenklatur jelas.
“Ini tak sabar menunggu hari esok bagaimana kelanjutan RUU ini yang sudah disahkan DPR tapi belum ditandatangani oleh Presiden dan belum diundangkan dalam Lembaran Negara RI,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman.
Pemohon Perkara No. 59/PUU-XVII/2019 menguji konstitusionalitas UU KPK hasil revisi baik secara formil maupun materiil.
Untuk pengujian formil, pemohon meminta MK membatalkan seluruh beleid tersebut. Pada pengujian materiilnya, mereka meminta MK mencabut ketentuan yang mengatur keberadaan Dewan Pengawas KPK.
Anwar Usman menilai permintaan para pemohon tersebut kontradiktif. Di satu sisi, penggugat meminta UU KPK hasil revisi dibatalkan. Di sisi lain, mereka meminta hanya norma Dewan Pengawas KPK saja yang dinyatakan tak berlaku.
“Saudara diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Paling lambat 28 Oktober 2019 pukul 10.00 WIB,” ujar Anwar kepada pemohon.