Bisnis.com, JAKARTA - Peta jalan untuk mewujudkan kota cerdas di Indonesia dapat dirunut sejak 2015 saat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyusun masterplan 35 wilayah pengembangan strategis (WPS), termasuk di dalamnya kota cerdas berkelanjutan.
Secara garis besar ada tiga batu loncatan penting, yakni 2025 tercapai prinsip-prinsip kota layak huni, aman dan nyaman; 2035 kota hijau dengan ketahanan iklim dan bencana yang maksinal, serta 2045 terciptanya kota cerdas yang berdaya saing dan berbasis teknologi.
Namun demikian, inisiasi dan penerapan smart city di Indonesia belum memiliki landasan hukum. Padahal dasar hukum merupakan pokok penting dalam penerapan suatu kebijakan yang dapat diimplementasikan.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menjelaskan, jika hendak digalakkan sebagai sebuah gerakan, pemerintah selayaknya menerbitkan peraturan perundang-undangan, baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah (PP), atau peraturan presiden (Perpres).
"Dari perundang-undangan itu keluarlah kebijakan, jadi kebijakan itu selalu ada payung hukumnya," jelasnya.
Dia melanjutkan, kualitas suatu kebijakan bergantung pada proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang melandasinya. Jika dasar hukum disusun dengan konsultasi publik yang matang, maka proses sosialisasi dan implementasi akan berjalan baik.
Baca Juga
Sementara itu, Pengamat Tata Kota Nirwono Joga mengatakan, pemerintah pusat belum serius dalam mewujudkan smart city di Indonesia. Terbukti dengan regulasi yang belum ada, juga konsep dasar mengenai kota cerdas yang belum dipahami secara menyeluruh, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah.
"Saat ini ya baru sekadar euforia berteknologi yang memudahkan saja seperti penggunaan, belum menyentuh masalah mendasar kota yang layak huni dan berkelanjutan," ujarnya.
Mewakili pemerintah pusat, menurutnya baru Kementerian Komunikasi dan Informatika yang memberi perhatian pada penerapan smart city, terutama dalam hal penggunaan teknologi informasi.
Dia melanjutkan, perkembangan smart city di Indonesia saat ini masih menitikberatkan pada penggunaan teknolofi informasi semata. Padahal, konsep dasar smart city adalah bagaimana menghadirkan solusi yang kreatif dan inovatif atas segala permasalahan kota, seperti menangani banjir, mengurangi kemacetan lalu lintas, dan menekan polusi udata.
"Termasuk juga menata permukiman kumuh, menyediakan air bersih, mengelola sampah dan limbah, membangun rumah dan gedung hijau cerdas, mobilitas yang cerdas dan seterusnya," katanya.
Menurutnya, karena penekanannya bertumpu pada teknologi informasi, maka ada dua hal yang harus dipenuhi, yaitu jaminan suplai listrik yang andal dan jaringan internet yang kuat. Sayangnya menurut Nirwono dua hal itu hanya di Pulau Jawa saja yang memadai.
Dia menggarisbawahi, meski sudah ada sejumlah kota yang mulai menginisiasi praktik smart city, tetapi belum ada satu kota pun di Indonesia yang sudah tergolong kota cerdas.
Kota Surabaya, menurut Nirwono, merupakan yang paling siap untuk menjadi kota cerdas pertama di Indonesia. Dia menyebut di Jakarta misalnya, konsep smart city sudah mulai ditinggalkan, aplikasi Qlue sudah tidak digunakan.
"Juga Bandung, yang setelah ditinggalkan Ridwan Kamil juga sudah mulai ditinggalkan," ujarnya.
Selain membutuhkan dukungan pemerintah pusat, komitmen pemerintah daerah yang paling penting, tidak hanya pada satu periode kepemimpinan tetapi berkelanjutan.
Sesudah persoalan regulasi yang diturunkan menjadi kebijakan, pematangan konsep serta pemilihan pilot project, pekerjaan rumah lain dalam hal ini yakni skema pendanaan dan rencana penguatan kelembagaan.