Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui untuk merevisi Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perubahan menjadi inisiatif legislatif.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fraksi Nasional Demokrat (Nasdem) Taufiqulhadi mengatakan bahwa ada dua hal yang penting dalam revisi ini. Pertama yakni legislatif ingin menata lembaga setelah ada hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Putusan MK yang lalu menetapkan bahwasanya KPK [Komisi Pemberantasan Korupsi] ini sebagai sebuah lembaga. Dia berada dalam domain eksekutif. Yang dulu KPK ini selalu menganggap dirinya sebagai di dalam jajaran peradilan. Jadi sekarang telah ditetapkan berbeda oleh MK,” katanya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (5/9/2019).
Hal kedua yang menjadi perhatian DPR menyetujui merevisi UU KPK tersebut adalah ingin merespons pidato Presiden Joko Widodo pada sidang tahunan legislatif 16 Agustus lalu.
“Dia mengatakan bahwa penting sekali bagi kita untuk memperkuat pemberantasan korupsi. Tapi dia mengingatkan yang dimaksud pemberantasan korupsi itu tidak berarti harus menangkap orang sebanyak-banyaknya,” jelasnya.
Taufiq menuturkan bahwa yang diartikan berhasil dalam pemberantasan korupsi yaitu tidak ada lagi orang yang melakukannya. Oleh karena itu, DPR berpikir dua hal tersebut harus ditekankan kembali di dalam revisi.
Baca Juga
“Sejauh ini sudah baik, tapi yang dilakukan selama ini adalah penyelesaian simtom. Padahal yang perlu kita selesaikan pada tataran akar persoalan. Kami berusaha ini adalah harus masuk ke akar persoalan. Jadi simtom nanti bisa diselesaikan akar persoalan juga harus diselesaikan,” ucapnya.
Usulan revisi UU Tindak Pidana Korupsi ini kemudian akan diserahkan kepada pemerintah untuk disepakati bersama.