Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Argentina Mauricio Macri bersumpah akan memenangkan masa jabatan keduanya, meskipun pihak oposisi mampu unggul dalam pemilihan pendahuluan yang berlangsung pada Minggu (11/8/2019) waktu setempat.
Macri bertekad akan membalik hasil pemilihan yang menempatkan lawannya, Alberto Fernandez dan pasangan calon wakilnya Cristina Fernandez Kirhcner, sebagai unggulan.
Alberto Fernandez mendominasi hasil pemilihan dengan margin sekitar 15,5 persen lebih tinggi dibandingkan dengan Macri. Hasil ini jauh lebih tinggi dari perkiraan. Adapun pilpres Argentina akan diselenggarakan pada Oktober.
Fernandez mengatakan akan berusaha untuk memperbaiki perjanjian Argentina dengan Dana Moneter Internasional (IMF) senilai US$57 miliar jika dia memenangkan pilpres pada Oktober.
Kendati demikian, investor melihat Fernandez sebagai prospek yang berisiko. Nilai tukar peso Argentina ditutup melemah 15 persen di level 53,5 per dolar AS, setelah anjlok sekitar 30 persen ke rekor terendah pada hari sebelumnya pascapemilihan.
Hal tersebut mendorong kekhawatiran pasar atas potensi kembalinya Argentina pada ekonomi intervensionis dari pemerintah sebelumnya.
Data Refinitiv menunjukkan bursa saham Argentina, obligasi, dan peso belum pernah mencatat penurunan simultan macam ini, sejak krisis ekonomi tahun 2001 dan gagal bayar utang.
“Saya percaya kita akan mengadakan pemilihan yang lebih merata pada Oktober yang memungkinkan kita untuk maju ke putaran kedua. Mereka yang tidak ingin kembali ke kondisi di masa lalu akan bergabung dengan kami,” ujar Macri dalam konferensi pers pada Senin (12/8/2019), seperti dikutip dari Reuters.
Saham-saham Argentina termasuk di antara yang membukukan penurunan terdalam pada indeks Nasdaq, dan indeks saham lokal Merval pun ditutup anjlok 31 persen.
Morgan Stanley menurunkan rekomendasi untuk utang dan ekuitas Argentina dari "netral" menjadi "underweight" serta mengungkapkan perhitungan yang menunjukkan peso bisa jatuh 20 persen lebih dalam.
"Mengingat jalan sempit ke depannya, kami melihat tingkat keberlanjutan kebijakan yang tinggi adalah suatu keharusan untuk menjaga stabilitas makro,” tutur Morgan Stanley dalam catatannya. “Akan ada tekanan penurunan lebih lanjut dan volatilitas pada harga obligasi.”