Kosa kata ‘digitalisasi’ kini seolah sudah menjadi mantra perubahan yang mampu menyulap semua sendi perekonomian di seluruh belahan dunia.
Berbagai paparan data menyebut digitalisasi sebagai mesin pendongkrak pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia memproyeksikan ekonomi digital akan menyumbang 10 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2025. Nilai tambah untuk PDB ini nilainya diperkirakan mencapai US$150 miliar.
Menurut Sreekumar (2005), cyber-libertarian merupakan pendekatan yang meyakini bahwa penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) akan menjembatani kesenjangan digital untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan. Teknologi baru seperti TIK diyakini akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cepat.
Seiring dengan menguatnya digitalisasi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi sebagai wacana dominan, sudah seharusnya wacana tentang pemerataan juga dikedepankan. Bahwa digitalisasi jangan sampai semata-mata mengakumulasi keuntungan di segelintir pemilik modal. Kekhawatiran yang tak berlebihan saat kita melihat derasnya mobilitas arus modal luar negeri menyuntikkan pendanaan ke perusahaan-perusahaan startup di Indonesia.
Tentu saja terdapat berbagai peluang pemerataan dengan bantuan kemajuan TIK, salah satunya filantropi digital. Tanpa kita sadari atau tidak, masyarakat Indonesia sesungguhnya gemar berderma dan peduli sesama. Kesadaran filantropi dan kepedulian sosial ini menjadi modal berharga kita sebagai sebuah bangsa. Kemajuan TIK mendorong semakin luasnya pemanfaatan kemudahan pembayaran nontunai, termasuk dalam membantu sesama lewat donasi.
Donasi digital berpotensi untuk turut membantu pemerataan kesejahteraan di Indonesia. Lewat donasi digital, sumbangan masyarakat menjadi lebih mudah, aman, dan transparan.
Baca Juga
Salah satu potensi besar pengumpulan dana masyarakat adalah melalui zakat, infak, dan sedekah. Presiden Joko Widodo bahkan menyebut potensi zakat di Indonesia mencapai lebih dari Rp232 triliun. Hal ini disampaikan Kepala Negara saat bertemu dengan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) di Jakarta 16 Mei 2019.
Oleh karena itu, Jokowi berharap adanya lompatan pertumbuhan pengumpulan dan penyaluran zakat di Indonesia dengan penggunaan TIK. Zakat sebagai bagian dari filantropi dalam Islam pun dapat digunakan untuk mengentaskan kemiskinan.
KAWAN BAIK
Beberapa tahun sebelum Presiden Jokowi mengungkapkan perlunya terobosan dalam pengumpulan zakat, telah hadir inovasi yang dikembangkan oleh sebuah entitas bernama Kawan Baik. Sejak 2016 mereka menjadi penyedia platform digital untuk pembayaran zakat, infak, dan sedekah.
Kawan Baik memposisikan dirinya sebagai penyedia layanan platform digital (platform as a service) atau layanan white label. Penyediaan platform pengumpulan zakat digital yang mereka kembangkan telah dipakai sejumlah Lembaga Amil Zakat (LAZ) berbasis organisasi kemasyarakatan (ormas), yaitu Lazis Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) Care-Lazis NU, dan Persatuan Islam, serta LAZ berbasis pemerintah, yaitu Baznas DKI Jakarta.
Dengan adanya mandat dari LAZ maka Kawan Baik menjadi Unit Pengumpul Zakat (UPZ) ormas-ormas tersebut dan bisa menggalang pemungutan dana zakat, infak, dan sedekah. Sebagai pengumpul zakat, Kawan Baik kemudian berkewajiban menyalurkan dana yang telah terhimpun sesuai aturan dan ketentuan syariah.
Berkolaborasi dengan LAZ yang menjadi induknya, Kawan Baik telah menggelar sejumlah kegiatan seperti Hapus Tato Gratis dan Bersih-bersih Musholla di Jakarta. Pada skala nasional bersama NU dan Muhammadiyah, mereka telah melaksanakan kegiatan penggalangan hewan kurban dan kegiatan Peduli Rohingya. Donasi publik melalui platform online untuk Peduli Rohingya bahkan berhasil mengumpulkan dana hingga Rp17,5 miliar.
Saat bencana alam menerjang, seperti gempa Lombok, gempa Palu, dan tsunami Banten, dana zakat dimanfaatkan untuk membangun fasilitas pengungsian di Lombok dan membangun hunian sementara di lahan milik pengungsi di Palu, Sulawesi Tengah.
Terakhir, berbekal pengumpulan dana infak dan sedekah dari masyarakat secara online, Kawan Baik merintis gerakan masyarakat untuk menemukan kemandirian menyelesaikan persoalannya sendiri dengan mendirikan Warung Baik. Warung Baik menjalankan mekanisme unik agar warga yang membutuhkan makanan tidak lagi harap-harap cemas.
Warung Baik memberikan 25 porsi makan untuk warga yang membutuhkan setiap hari. Warga yang membutuhkan itu seperti musafir kehabisan bekal, pedagang asongan keliling, hingga tukang ojek, dan sejumlah profesi di sektor informal lainnya.
Studi kasus Kawan Baik memperlihatkan adanya potensi pengumpulan zakat, infak, dan sedekah melalui platform online. Jika dulu pencatatan muzakki (pemberi zakat, infak, sedekah) berbasis manual sekarang beralih menjadi data digital. Manfaatnya, melalui data digital ini UPZ akan lebih mudah memberikan informasi penyaluran dana sebagai bagian dari transparansi dan pertanggungjawaban kepada para muzakki.
Penyaluran dana zakat ini terbukti dapat dimanfaatkan sebagai wujud pemerataan terhadap kelompok masyarakat yang membutuhkan uluran bantuan serta kepedulian bersama. Tantangan selanjutnya bagi para pemangku kepentingan terkait adalah memanfaatkan dana zakat tak hanya sebagai dana mitigasi sosial, tetapi juga bagian dari skema pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi.
Jika hal ini terwujud maka pendekatan ekonomi-politik dalam perspektif cyber-libertarian yang meyakini pemanfaatan TIK dapat mengentaskan kemiskinan menemukan pembuktiannya. Tak hanya sebagai mesin penggerak pertumbuhan ekonomi, digitalisasi sudah seharusnya juga menggerakkan pemerataan kesejahteraan dan keadilan sosial.
*) Febry Arifmawan, Dosen Maiji Business School, Jakarta