Bisnis.com, JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjawab nota keberatan atau eksepsi terdakwa kasus PLTU MT Riau-1 Sofyan Basir, di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (1/7/2019).
Dibaca secara bergiliran oleh JPU KPK di depan Majelis Hakim, Jaksa memaparkan poin-poin terkait surat dakwaan yang sebelumnya disebut tim penasihat hukum Sofyan Basir tidak jelas atau membingungkan. Pasal yang didakwakan kepada Sofyan pun jadi perdebatan penasihat hukum.
Jaksa KPK Budhi Sarumpaet menegaskan penyusunan surat dakwaan terhadap Sofyan Basir sudah disusun secara cermat, jelas, dan lengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat 2 KUHAP.
Dia mengatakan tidak beralasan bila penasihat hukum menyatakan bahwa dengan menghubungkan Pasal 15 UU Tipikor dengan Pasal 56 ke-2 KUHP sangat membingungkan.
Menurutnya, penerapan Pasal 15 UU Tipikor dan Pasal 56 ke-2 KUHP dalam surat dakwaan perkara a quo merupakan penekanan terhadap unsur pembantuan dan ancaman hukuman pidana terhadap terdakwa dengan tetap mempertimbangkan kepentingan keadilan substantif dengan tanpa mengorbankan hak-hak terdakwa dalam melakukan pembelaan perkara ini.
Dia beralasan dengan menjunctokan alias menghubungkan Pasal 56 ke-2 KUHP, maka terlihat secara jelas dan nyata rumusan delik atas perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dalam perkara ini sesuai dengan Pasal 56 ke-2 KUHP.
Baca Juga
"Sehingga untuk membuat terang dan jelas tentang peran terdakwa dalam surat dakwaan dalam perkara a quo, maka penuntut umum menjunctokan dengan rumusan unsur delik pembantuan sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ke-2 KUHP," paparnya.
Sebaliknya, lanjut dia, apabila Jaksa penuntut umum tidak menjunctokan ketentuan Pasal 56 ke-2 KUHP, maka akan terjadi ketidakjelasan rumusan delik pembantuan, mengingat Pasal 15 Undang-Undang Tipikor tidak mengatur mengenai rumusan unsur delik pembantuan.
Jaksa mengatakan pencantuman ketentuan Pasal 56 ke-2 KUHP dalam surat dakwaan bertujuan agar surat dakwaan perkara a quo yang mendakwakan rumusan unsur pembantuan dapat dengan mudah dan jelas dipahami oleh terdakwa dan penasihat hukumnya.
Selain itu, pencantuman pasal 15 UU Tipikor dalam surat dakwaan adalah sebagai penerapan ketentuan khusus terhadap ancaman hukuman pidana bagi terdakwa berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali.
Untuk itu, alasan atau dalih penasihat hukum terdakwa Sofyan Basir menurutnya harus dinyatakan ditolak dan dikesampingkan.
Sebelumnya, pihak Sofyan menyoalkan penerapan Pasal 15 UU Tipikor yang dihubungkan Pasal 56 ke-2 KUHP. Hal ini, menurut tim penasihat hukum, dinilai berlebihan sehingga membuat surat dakwaan kabur (obscuur libel).
Penerapan pasal 56 ke-2 KUHP dalam surat dakwaan juga dinilai penasihat hukum adalah keliru karena tindak pidana korupsi telah terjadi (voltooid) sebelum dugaan kejahatan pembantuan dituduhkan kepada Sofyan Basir.
Dalam perkara ini, Sofyan Basir didakwa telah memfasilitasi pertemuan antara mantan Wakil Ketua Komisi VII Eni M Saragih, eks Sekjen Golkar Idrus Marham dan salah aatu pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd Johannes B. Kotjo dengan jajaran direksi PLN.
Hal itu bertujuan untuk mempercepat proses kesepakatan Independent Power Producer (IPP) PLTU Riau-1 antara PT PJB Investasi (PJBI), BNR, dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC).
Padahal, Sofyan Basir mengetahui bahwa Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham akan mendapat sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Johannes Kotjo atas proyek tersebut.