Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah memberi sinyal akan mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE dalam waktu dekat.
Sinyalemen itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto. Dia menyebut revisi UU ITE adalah satu-satunya jalan untuk menghadapi masalah yang muncul akibat cepatnya perkembangan teknologi informasi beberapa tahun terakhir.
“Kecepatan teknologi ini, terutama komunikasi medso, tidak diimbangi oleh kecepatan regulasi untuk mengatur itu. Tatkala regulasi ini tidak lagi bisa menampung kegiatan yang sangat cepat tadi itu problem. Ya jalan satu-satunya kita bisa perbaiki regulasi kita, UU ITE,” ujar Wiranto di kantornya, Jakarta, Kamis (13/6/2019).
Sebelum revisi UU ITE dilakukan, pemerintah akan tetap menempuh jalan seperti menutup situs-situs penyebar hoaks atau berita bohong (fake news). Bahkan, bukan tidak mungkin pemerintah akan membatasi akses internet dan media sosial.
Pembatasan akses internet dan medsos sempat dilakukan saat aksi 21 dan 22 Mei 2019 berlangsung di DKI Jakarta. Saat itu, akibat pembatasan, pengguna internet di Indonesia kesulitan mengirim pesan singkat dan gambar menggunakan aplikasi seperti WhatsApp, Instagram, dan Facebook.
“Kami minta masyarakat supaya tidak termakan hoaks, sambil kita juga melakukan langlah-langkah take down [situs atau akun penyebar hoaks]. Juga memberikan hukuman sejauh bisa masuk dalam UU ITE. Jadi enggak usah diributkan apabila [pemerintah] melakukan tindakan tegas bagi pelanggar UU ITE,” ujar Wiranto.
Wiranto berjanji pembatasan akses internet dan medsos tak akan kembali dilakukan, jika keadaan dianggap aman.
Rencana pembatasan akses internet dan medsos sebelumnya diungkap Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Pembatasan akan dilakukan jika sebaran hoaks atau berita bohong masif sekitar 600-700 konten per menit, terutama saat sidang gugatan sengketa Pilpres 2019 berlangsung di MK.
“Itu keadaan yang betul-betul membutuhkan [pembatasan akses internet], dan kita sudah minta maaf kepada penguna medsos yang dirugikan. Tapi kita juga memberi pemahaman bahwa kepentingan negara dan bangsa lebih besar dari kepentingan perorangan dan kelompok. Itu [pembatasan] hanya kita gunakan kalau keadaan betul-betul membutuhkan,“ ujarnya.