Bisnis.com, JAKARTA - Indikasi kecurangan kuantitatif terstruktur, sistematis, dan masif menjadi isi materi gugatan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Calon wakil presiden Sandiaga Salahuddin Uno mengatakan timnya menemukan pola kecurangan yang sama di 50 persen tempat pemungutan suara (TPS).
"Itu kecurangannya ada polanya. Itu yang nanti akan disampaikan lebih detail oleh tim hukum untuk dilengkapi," kata Sandiaga saat menghadiri acara Hijabfest di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Minggu (26/5/2019).
Sandiaga enggan merinci pola kecurangan yang ia maksudkan. Namun, Sandiaga memastikan ada anomali di tempat pemungutan suara yang tersebar di separuh TPS di berbagai provinsi.
"Ini semua berdasarkan kumpulan yang didapat dari masyarakat. Ada penyimpangan, ada ketidakadilan," ujarnya.
Tim pengacara Prabowo-Sandiaga resmi mendaftarkan gugatan perdata pemilihan presiden 2019 ke Mahkamah Konstitusi pada Jumat pekan lalu. Sengketa ini merupakan respons atas hasil rekapitulasi suara yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Selasa (21/5/2019) dinihari.
KPU mengumumkan pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin, menang dengan perolehan suara 55,5 persen. Selisih perolehan suara kedua pasangan itu mencapai 16,9 juta.
Pada berkas permohonannya, tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga menyebutkan bahwa bentuk pelanggaran pemilu dan kecurangan masif yang dilakukan kubu pasangan Jokowi-Ma'ruf adalah penyalahgunaan anggaran belanja negara dan program kerja pemerintah.
Selain itu, ada persoalan ketidaknetralan aparat negara seperti polisi dan intelijen, penyalahgunaan birokrasi dan badan usaha milik negara, pembatasan kebebasan media, serta diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakan hukum.
Kubu pasangan calon nomor 02 juga mengklaim menemukan data yang tidak valid di 34 provinsi. Menurut mereka, di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, dan Jakarta, jumlah data yang tidak valid mencapai 18,8 juta orang. Tim juga mengklaim menemukan 6,16 juta data pemilih ganda di provinsi tersebut.
Ketua tim pengacara Prabowo-Sandiaga, Bambang Widjojanto, mengatakan timnya sudah menyerahkan 51 alat bukti kepada panitera Mahkamah Konstitusi. Bukti-bukti itu antara lain formulir C1 plano, bukti elektronik, foto dan video, daftar pemilih yang diduga bermasalah, dan keterangan saksi.
"Pada waktu yang tepat, kami akan menambahkan bukti-bukti penting," kata Bambang.
Sebagai pihak termohon, komisioner Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy'ari mengatakan lembaganya menyerahkan sepenuhnya keputusan ke Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, baik penggugat maupun tergugat harus saling membuktikan tuduhan atau pembelaan dengan alat bukti yang meyakinkan. "Prinsipnya, perselisihan hasil pemilihan umum di MK menganut pandangan, barangsiapa mendalilkan maka dia harus membuktikan," ujarnya.
Calon wakil presiden Ma'ruf Amin tidak mempersoalkan langkah kubu Prabowo-Sandiaga menggugat hasil pemilihan presiden ke Mahkamah Konstitusi. "Kalau memang ada ketidakpuasan, merasa ada masalah yang mereka persoalkan, sesuai dengan konstitusi, mengadu ke Badan Pengawas Pemilu kemudian ke MK. Karena mereka itu yang diberi otoritas oleh undang-undang. Itu cara yang benar," ujar Ma'ruf, Minggu, 26 Mei 2019.
Sementara itu, Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif Veri Junaidi menilai bukti-bukti kecurangan yang disajikan tim kuasa hukum Prabowo-Sandiaga belum kuat. Sebab, beberapa bukti yang diajukan hanyalah berupa tautan dari berita daring.
Padahal, kata dia, untuk membuktikan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif seperti yang mereka tuduhkan, diperlukan bukti lain yang lebih meyakinkan. Misalnya bukti primer berupa hasil pengawasan saksi di setiap TPS.
“Jadi, sebenarnya sumbernya adalah sumber sekunder, ya, dalam proses pembuktian bahwa ada pemberitaan kasus-kasus (kecurangan pemilu) seperti ini. Menurut saya, itu belum masuk pada bukti utama yang memang harusnya disampaikan ke mahkamah,” ujarnya.