Bisnis.com, JAKARTA - Militer AS berencana untuk menganalisis 350 miliar unggahan di media sosial dari seluruh dunia untuk membantunya melacak bagaimana sebuah gerakan yang tercipta secara online bisa berkembang.
Proyek penelitian ini akan menyaring setidaknya 200 juta pengguna dari lebih dari 100 negara dalam lebih dari 60 bahasa untuk lebih memahami ekspresi kolektif. Pesan, termasuk nama pengguna, akan diperiksa untuk komentar, metadata, lokasi, dan pengidentifikasi kota asal.
T. Camber Warren, peneliti utama proyek, mengatakan data tersebut akan digunakan untuk meningkatkan pemahaman komunikasi dan bagaimana pola wacana berubah seiring waktu.
Dia sebelumnya mempelajari konflik internal di Afrika, menunjukkan bagaimana media massa seperti siaran radio dapat memiliki efek menenangkan, sementara media sosial dapat mengobarkan kekerasan kolektif.
“Data media sosial memungkinkan kita untuk pertama kalinya, mengukur bagaimana ekspresi sehari-hari dan bahasa gaul berevolusi dari waktu ke waktu, melintasi beragam masyarakat manusia, sehingga kita dapat mulai memahami bagaimana dan mengapa masyarakat terbentuk dalam bentuk wacana tertentu,” ujar Warren seperti dikutip dari Bloomberg, Sabtu (25/5/2019).
Data tersebut, lanjutnya, dapat digunakan untuk melatih algoritma agar dapat memahami perubahan yang semakin halus dalam konteks budaya.
Sementara itu, Wakil Direktur Kebijakan Teknologi Pusat Studi Strategis & Internasional di Washington William A. Carter mengatakan bahwa proyek analisis media social ini penting untuk membantu mempertahankan diri dari musuh yang ingin merusak demokrasi dan menciptakan perpecahan dalam masyarakat.
"Kita perlu lebih memahami bagaimana narasi dan komunitas dibentuk secara online untuk membela diri terhadapkampanye ini,” ujar dia
Namun, dia mengatakan bahwa mengumpulkan dan menganalisis big data seperti ini yang tersedia untuk umum bisa saja disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.
“Ada risiko bahwa ketika kita belajar untuk mengeksploitasi data ini untuk mengelola bagaimana orang berinteraksi secara online, itu akan memberikan alat bagi pemerintah dan aktor jahat yang dapat mereka gunakan untuk memanipulasi pikiran dan perilaku kita,” papar dia.