Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai mesti segera memperbaiki tata kelola sumber daya manusia (SDM), demi mengurangi kisruh di internal lembaga.
"Ini terutama kalau kita lihat dari belum adanya cetak biru SDM KPK yang sampai saat ini masih belum selesai," ujar Peneliti Transparency International Indonesia Alvin Nicola dalam diskusi Evaluasi Kinerja KPK 2015-2019 di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Minggu (12/5/2019).
Alvin menyebut walaupun sistem meritokrasi sudah berjalan, pola organisasi telah modern, dan perhatian terhadap pegawai baik, cetak biru SDM dinilai sanggup menjawab setidaknya empat masalah internal yang masih mengganjal di KPK. Berikut di antaranya:
Pengangkatan Pegawai Internal
Seperti diketahui, proses pengangkatan 21 penyidik internal KPK beberapa waktu lalu sempat mendapatkan protes dari pihak Kepolisian RI (Polri).
Hal ini memicu protes, sebab Polri menduga KPK ingin melakukan rekrutmen dan kebijakan eksklusif. Hal ini tertuang dalam surat kepada Ketua KPK Agus Rahardjo yang dikirimkan Polri pada 3 Mei 2019 ditandatangani Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Erwanto Kurniadi dan daftar nama 97 penyidik Polri penugasan KPK.
Mereka menjelaskan, KPK kuat dengan bekerja sama dengan Polri, Kejaksaan Agung, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), bukan karena peran satu unsur saja. Sehingga, mengimbau pimpinan KPK untuk tidak menerapkan kebijakan yang eksklusif, terutama dalam hal pengangkatan penyidik KPK.
"Ini kita anggap sebagai tindakan yang aneh di internal KPK, karena KPK selama ini mengeluh kekurangan SDM," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam kesempatan yang sama.
"Tapi ketika ada pengangkatan penyidik, malah diprotes oleh beberapa internal KPK. Di sini sikap ICW dan koalisi sebenernya mendukung KPK untuk mengangkat 21 penyidik baru. Karena ini suplemen bagi pemberantasan korupsi ke depan," tambahnya.
Pengisian Jabatan Belum Maksimal
Isu SDM lain di KPK ini terungkap pada 2018 terkait sistem rotasi SDM di KPK yang dianggap bermasalah.
Dalam kasus ini, Wadah Pegawai KPK menganggap rotasi beberapa jabatan eselon II dan III tersebut tidak adil, tidak transparan, dan melanggar Peraturan KPK RI No 7 Tahun 2013 tentang Nilai-Nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku KPK.
Alvin menjelaskan bahwa kisruh yang sampai-sampai menyebabkan Wadah Pegawai KPK tersebut menggugat ke PTUN, menunjukkan bahwa pimpinan KPK belum sanggup memperbaiki pola pengisian jabatan di KPK.
KPK vs Polri dan Kebutuhan Keamanan
Kisruh selanjutnya terungkap sekitar Maret 2019, ketika penyelidik dan penyidik internal KPK (tanpa unsur kepolisian dan kejaksaan) mengirimkan surat petisi berjudul “Hentikan Segala Bentuk Upaya Menghambat Penanganan Kasus” ke pimpinan KPK.
Petisi tersebut berisi lima penyebab terhambatnya penanganan perkara korupsi. Di antaranya:
- Pertama, adanya penundaan pelaksanaan ekspose perkara dengan alasan yang tidak jelas dan cenderung mengulur-ulur waktu.
- Kedua, hampir seluruh satuan tugas bagian penyelidikan pernah gagal melakukan operasi tangkap tangan (OTT) karena kebocoran informasi.
- Ketiga, adanya perlakuan khusus terhadap beberapa saksi. Misalnya, saksi perkara korupsi dana perimbangan daerah Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar disebut pergi ke ruangan Firli di lantai 12 gedung KPK terlebih dahulu lewat pintu belakang sebelum menuju ruang pemeriksaan di lantai 2.
- Keempat, adanya hambatan penyidik KPK yang tidak mendapat izin saat mengajukan penggeledahan dalam kasus-kasus tertentu. Penyidik juga tidak diizinkan mencekal seseorang tanpa alasan obyektif dan argumentasi yang jelas.
- Kelima, perkara dugaan pelanggaran berat dari Bagian Penindakan KPK, tidak sepenuhnya ditindaklanjuti oleh pimpinan KPK. Misalnya kasus perusakan barang bukti 'Buku Merah', dan terhambatnya beberapa kasus yang melibatkan relasi politik.
Sebab itulah, Kurnia menilai bentuk luapan kekesalan internal KPK atas tersumbatnya penanganan perkara ini perlu diwadahi dan diberikan jaminan keamanan. Sehingga masalah ini tak merusak wibawa KPK di mata publik.
Peningkatan Keahlian Pegawai.
Total saat ini KPK memiliki 118 penyidik. 63 orang merupakan pegawai tetap KPK, 50 orang lainnya berasal dari unsur Polri, dan lima orang sisanya merupakan penyidik PNS.
Kendati demikian, Kurnia menjelaskan semakin luasnya dimensi kejahatan korupsi dan penggunaan teknologi, penyidik KPK yang terbilang minim tersebut dituntut lebih cepat beradaptasi dengan keahlian lebih.
"Kalahnya beberapa kali KPK di beberapa praperadilan juga menjadi indikator perlunya penguatan keahlian," jelas Kurnia.
"Di dalam laporan-laporan kinerja KPK, ditemukan juga bahwa tingkat penetapan tersangka menurun dalam dua tahun terakhir, dari 100 persen di tahun 2017 menjadi 71 persen di tahun 2018," tambahnya.