Bisnis.com, JAKARTA – Presiden AS Donald Trump memberlakukan sanksi baru terhadap Iran dengan membidik pendapatan dari ekspor logam industri negara itu.
Langkah itu diambil AS sebagai tekanan baru menyusul ketegangan antara Washington dan Teheran terkait dengan perjanjian internasional 2015 yang mengekang program nuklir Republik Islam itu.
Beberapa jam sebelumnya Iran mengumumkan bahwa sedang melonggarkan beberapa pembatasan atas program nuklirnya. Negara itu juga mengancam tindakan lebih lanjut jika negara-negara industri maju tidak melindunginya dari sanksi yang dijatuhkan oleh AS.
Perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh Trump untuk memberi saksi batasan ekspor pada Iran mencakup komoditas besi, baja, aluminium, dan tembaga. Semua komoditas itu merupakan pendapatan ekspor non-minyak terbesar pemerintah Iran dan mencapai 10% dari nilai ekspornya, menurut pihak Gedung Putih.
“Teheran dapat mengharapkan tindakan lebih lanjut kecuali secara fundamental mengubah perilakunya,” kata Trump sebagaimana dikutip Reuters, Kamis (9/5/2019).
AS menyatakan kesepakatan nuklir yang dinegosiasikan oleh pendahulu Trump, Barack Obama, cacat karena tidak bersifat permanen. Selain itu juga tidak membahas program rudal balistik Iran dan tidak menghukum negara karena melancarkan perang proksi di Timur Tengah.
Perintah eksekutif AS tersebut secara efektif mengancam negara lain untuk tidak membeli, mengakuisisi, menjual atau memasarkan bahan-bahan mineral asal Iran kalau tidak ingin terkena sanksi.
Trump juga memberlakukan kebijakannya itu kepada setiap individu dan entitas jika mereka secara sadar terlibat dalam transaksi barang atau jasa yang digunakan sehubungan dengan sektor-sektor industri logam tersebut ke Iran.